JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM telah menyepakati 247 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Dari ratusan RUU tersebut ada beberapa yang harus disoroti publik lebih dalam, di antaranya RUU tentang KUHP (RKUHP) dan RUU tentang revisi UU Narkotika.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengingatkan Menteri Hukum dan HAM untuk mematuhi perintah presiden dan membuka kembali pembahasan RKUHP dengan melibatkan berbagai elemen publik. Ada akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu yang terkait, seperti kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat, serta masyarakat sipil.

"Kami meminta agar pemerintah membentuk Komite Ahli yang diperluas keanggotaannya yang mencerminkan berbagai bidang dan kajian ilmu untuk melanjutkan pembahasan RKUHP," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Kamis (12/12).

Selain itu, pembahasan RKUHP jangan hanya dibatasi pada 14 pasal yang diklaim bermasalah saja oleh pemerintah. Permasalahan dalam RKUHP yang telah dipaparkan oleh masyarakat lebih dari itu, setidaknya ada 24 isu dari banyak pasal bermasalah dalam RKUHP. Bahkan isu mendasar seperti masalah pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi sama sekali tidak pernah dibahas oleh Menteri Hukum dan HAM.

ICJR juga memberikan apresiasi kepada DPR dan Pemerintah yang telah memasukkan RUU tentang revisi UU Narkotika ke dalam prolegnas prioritas 2020. Namun ICJR juga mengingatkan bahwa semangat revisi UU Narkotika harus dengan pendekatan kesehatan masyarakat. Sudah saatnya untuk mengubah strategi dalam menangani masalah penyalahgunaan narkotika dari yang lebih condong pada kriminalisasi menjadi rehabilitasi yang mengedepankan aspek kesehatan bagi masyarakat pengguna narkotika.

Untuk itu, pasal-pasal dalam UU Narkotika yang masih memungkinkan pengguna untuk dijebloskan ke dalam penjara harus segera diubah. Metode dekriminalisasi tersebut telah banyak digunakan oleh negara-negara yang mengadopsi konsep harm reduction. Hal ini penting karena penjara nyatanya tidak mampu memberikan fasilitas kesehatan yang layak bagi pengguna narkotika yang dihukum penjara. Oleh karena itu, metode penanganan harus diubah karena kualitas kesehatan masyarakat Indonesia yang semestinya menjadi perhatian penting bagi negara menjadi taruhannya.

Namun, ICJR menyesalkan keputusan DPR dan Pemerintah yang tidak memasukkan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam RUU prioritas prolegnas 2020 (RUU Perubahan UU ITE). RKUHAP sangat penting untuk untuk mendorong terselenggaranya sistem peradilan pidana yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan sehingga tercipta keseimbangan perlindungan antar kepentingan, yakni kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

Sedangkan RUU Perubahan UU ITE penting karena meskipun UU ITE telah direvisi pada tahun 2016, namun perubahan ini belum dapat memberikan perlindungan kebebasan berpendapat di ranah internet. UU ITE merupakan produk legislasi yang memiliki rumusan tindak pidana yang sangat “lentur” dan meluas, sehingga menyebabkan penggunaan pasal-pasal di dalamnya menjadi tidak presisi dan bahkan eksesif oleh aparat penegak hukum. Selain itu, revisi UU ITE 2016 juga belum mampu menyelesaikan masalah ketentuan yang tumpang tindih dengan KUHP (dalam ketentuan terkait kesopanan, pencemaran nama baik, perlindungan konsumen, kejahatan terhadap ketertiban umum, dan pemerasan dan ancaman) dan masalah kepastian hukum terkait pencemaran nama baik.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM telah menyepakati 247 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Dari 247 RUU tersebut, 50 di antaranya merupakan RUU prioritas 2020. Dari 50 RUU Prioritas tahun 2020 tersebut terdapat empat RUU carry over, dengan rincian tiga RUU dari pemerintah yaitu RUU tentang Bea Materai, RUU tentang KUHP (RKUHP) dan RUU tentang Pemasyarakatan, serta satu RUU dari DPR yaitu RUU tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. (G-2)

BACA JUGA: