JAKARTA - Berbeda dengan optimisme pemerintah, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) justru memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya akan mencapai 4,8%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan target pemerintah sebesar 5,3%. Sejumlah gejala terlihat mengarah ke resesi sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan.

Direktur Program INDEF Esther Sri Astuti mengatakan ada kemungkinan terjadi resesi. "Kuncinya adalah harus ada koordinasi dan sinergi di antara kementerian," katanya kepada Gresnews.com, Selasa (26/11).

Ia menjelaskan bila pemerintah menggelar program pada sektor pariwisata maka itu bukan hanya tugas dari Kementerian Pariwisata saja melainkan juga menjadi tugas Kementerian Perhubungan sebagai sarana penghubungnya. Termasuk juga kerjasama dan bersinergi dengan Kementerian Pekerjaan Umum untuk pengembangan infrastruktur di daerah wisata.

Esther menegaskan program pemerintah itu bukan milik satu kementerian saja. Dari sektor lainnya juga perlu dicarikan solusi terutama terkait dengan defisit neraca perdagangan, misalnya. Kementerian Perdagangan sebagai leading sector harus membuat regulasi yang mendorong agar impor diperkecil dan ekspor diperbesar.

Tentu harus ada sinergi juga dengan Kementerian Perindustrian. Misalnya mendorong ekspor semakin besar lewat manufaktur melalui regulasi. Begitu pula di sektor moneter, Kementerian Keuangan dan juga Bank Indonesia harus membuat kebijakan untuk mengatasi kelesuan ekonomi.

Bila menilik dari sisi global, perekonomian beberapa negara menunjukkan gejala resesi. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tidak berkesudahan menjadi salah satu penyebabnya.

Menurut Esther, perang dagang ini memiliki tiga turunan lain yang memengaruhi Asia, yaitu perang teknologi berupa pemblokiran di bidang teknologi dan komunikasi, perang mata uang yang dilakukan untuk menurunkan nilai mata uang agar harga komoditas lebih kompetitif, dan perang investasi di mana suatu negara mengurangi atau memindahkan investasinya ke negara lain.

Penyebab lainnya adalah pergerakan harga komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak mentah yang berfluktuasi dengan cepat. Selain itu, ada penurunan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali yang menyebabkan aliran modal jangka pendek (hot money) masuk ke pasar negara-negara berkembang dan suhu politik AS yang memanas dengan adanya pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Donald Trump.

Memang bukan hanya Indonesia yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan proyeksi INDEF, pertumbuhan ekonomi AS hingga 2021 terus menurun, yaitu 2,32% pada 2019, kemudian menjadi 2% pada 2020, dan akhirnya 1,98% pada 2021. Hal yang sama juga terjadi pada Tiongkok dari 6,16% pada 2019 menjadi 5,73% pada 2020 dan 5,5% pada 2021. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Uni Eropa diperkirakan stabil di kisaran 1,1%-1,2%. (G-2)

BACA JUGA: