JAKARTA – Sepanjang tahun ini terjadi beragam tindak asusila mulai dari teror sperma di Tasikmalaya, kurir masturbasi di Depok, hingga perilaku incest di Lampung. Dari sisi penegak hukum, kasus-kasus tersebut tak mudah pembuktiannya.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo menjelaskan tindak pidana asusila memiliki kesulitan tersendiri dalam pengungkapannya. Ini disebabkan tindak pidana asusila biasa terjadi di ruang tertutup dan tidak ada saksi. "Butuh keseriusan dan kegigihan penegak hukum yang berperspektif korban untuk mengungkapnya," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Rabu (20/11).

Menurut Antonius, ada banyak pemicu terjadinya tindakan kesusilaan antara lain kemiskinan, situs porno, relasi kekuasaan, pedofil, keretakan rumah tangga dan penyimpangan seksual. "Dibutuhkan UU khusus tindak pidana kesusilaan. Ini penting karena terbatasnya ruang lingkup tindak pidana kesusilaan dalam hukum positif, serta untuk kepentingan mempermudah pembuktian," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjelaskan, penundaan pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih dikarenakan rujukannya yaitu RKUHP juga tertunda. Penundaan tidak lepas dari permintaan sejumlah elemen masyarakat. Inilah saat yang tepat untuk mensosialisasikannya dan DPR terbuka menerima masukan dari masyarakat.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengungkapkan, dari banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi, hanya sekitar 10 persen saja yang maju ke proses hukum. Dari 10 persen itu, berapa banyak yang korbannya mendapatkan pemulihan? Hasil penelusuran Komnas Perempuan, tak banyak korban yang bisa dipulihkan meski kasusnya diproses dan pelakunya dihukum.

Dekan FH Atma Jaya Asmin Fransiska menambahkan, hukum Indonesia masih fokus pada pelaku, bukan korban. Dia juga menilai terdapat kesilauan atas pasal asusila. Itu terlihat dari upaya mempersempit ruang kekerasan terhadap korban dan perempuan; fokus pada penilaian norma di masyarakat dan diskriminatif terhadap perempuan; pertimbangan kesusilaan melanggar norma di masyarakat; pengabaian nilai kekerasan yang dialami perempuan; serta permisifnya masyarakat atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. (G-2)

BACA JUGA: