JAKARTA - Bila menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 mengalami kelambatan, yakni 5,02% years on years (yoy). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pada kuartal tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 5,05% (yoy). Artinya, Indonesia sedang berada di tubir jurang resesi.

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan menjelaskan hal tersebut merupakan potensi resesi ekonomi yang harus diantisipasi. "Setidaknya ada empat sumber potensi resesi bagi Indonesia," kata Pulungan dalam diskusi yang dihadiri oleh Gresnews.com, di Jakarta, Kamis (7/11).

Keempat sektor yang dimaksudkan adalah sektor perdagangan, sektor energi, kelambatan ekonomi China yang berpengaruh terhadap lonjakan utang pemerintah, dan risiko sektor keuangan.

Pertama, dalam sektor perdagangan, saat ini terjadi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang menyebabkan ekonomi dunia melambat. Kedua negara tersebut menguasai sekitar 35% ekonomi dunia, sehingga negara berkembang seperti Indonesia akan terkena dampak.

Kedua, sektor energi, terkait harga minyak dunia jenis WTI dan Brent yang diprediksi menurun pada 2020. Tentu hal ini menyebabkan permintaan terhadap energi melambat. Masalah minyak ini juga berkaitan erat dengan kondisi geopolitik yang mana Arab Saudi adalah sebagai pemasok minyak terbesar dunia.

Ketiga, kelambatan ekonomi China. Pada 2010, ekonomi China tumbuh 10%, namun pada 2019 (kuartal III) melambat hingga 6,2%. Hal itu mempengaruhi kondisi ekonomi global karena Produk Domestik Bruto (PDB) China mencakup 19% PDB dunia.

Keempat, lonjakan utang. Di beberapa negara, rasio utang pemerintah terhadap PDB semakin meningkat. Sedangkan di Indonesia rasionya masih aman karena di bawah 30%. Namun, ingat, penerimaan pajak Indonesia tak pernah mencapai target. Utang menjadi tidak aman bila pendapatan tidak berkesinambungan. Berhubungan dengan risiko sektor keuangan, hal itu ditandai dengan mulai membanjirnya obligasi China dan potensi krisis AS. Yield (imbal hasil) obligasi jangka panjang lebih rendah dibandingkan dengan yield obligasi jangka pendek. "Ditambah, impeachment (risiko politik) Presiden AS Donald Trump yang semakin nyata," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: