JAKARTA - Pemerintah telah menerapkan aturan mengenai larangan ekspor bijih nikel sejak 28 Oktober 2019. Hal itu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi pengusaha. Padahal, berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pemerintah, larangan ekspor bijih nikel itu seharusnya diberlakukan awal 2020.

Anggota Komisi VII DPR (Energi, Riset dan Teknologi, dan Lingkungan Hidup) Rusda Mahmud mengatakan keputusan penghentian ekspor bijih nikel itu terburu-buru sehingga merugikan pengusaha yang telah melakukan penambangan.

"Tadi saya berbincang dengan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), kerugiannya per hari bisa Rp300 juta lebih, karena sudah ada kontrak tapi tak bisa dikirim," kata legislator dari Fraksi Demokrat asal Daerah Pemilihan Sulawesi Tenggara itu dalam sebuah diskusi yang dihadiri Gresnews.com, Rabu (6/11), di Jakarta.

Menurut mantan Bupati Kolaka Utara 2012-2017 itu, kementerian atau lembaga terkait sebaiknya mempertimbangkan untuk mencabut larangan ekspor tersebut dan disesuaikan kembali berdasarkan kesepakatan dengan pengusaha. “Pemerintah sudah seharusnya lebih berpihak kepada para pengusaha dalam negeri dibandingkan pengusaha luar negeri,” kata Rusda.

Pada 28 Oktober lalu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia secara mengejutkan mengumumkan penyetopan ekspor ore (bijih) nikel. Keputusan itu dua bulan lebih cepat dari kebijakan awal yakni mulai 1 Januari 2020.

Sebetulnya pelarangan ekspor tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Aturan hukum pelarangan nikel telah dipercepat dari 11 Desember 2022 menjadi 31 Desember 2019.

Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengklaim belum mendapat surat resmi dari BKPM terkait pembatasan ekspor yang sudah dilarang sejak pekan lalu itu.

"Saya pun dengarnya dari media, belum ada surat formal yang dikeluarkan Kepala BKPM kepada Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, ESDM, Menteri Perindustrian sehingga para menteri akan berkumpul dan membuat satu koordinasi apakah betul-betul dipercepat lagi," kata Yunus.

Yunus menegaskan jika berdasarkan legalitas maka Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 sampai saat ini masih tetap berlaku. Bila BKPM hendak mempercepat maka peraturan itu perlu diadendum lebih dulu.

Pelarangan ekspor bijih nikel ini beberapa kali tertunda. Padahal sesuai UU Tambang seharusnya pelarangan ekspor bijih mulai berlaku pada 2014, namun ditunda menjadi 2017, dan ditunda lagi menjadi 2020. Namun berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan pengusaha terkait pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah mulai 1 Januari 2020 pada akhirnya ‘dimajukan’ dua bulan lebih cepat oleh pemerintah. (G-2)

BACA JUGA: