JAKARTA - Pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya disebut sebagai UU Terorisme. Aturan ini telah menjadi langkah awal untuk menanggulangi terorisme dan--yang juga penting--adalah pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme (TPPT).

TPPT merupakan lembaga yang dibentuk oleh DPR. "Lembaga ini berikut perangkatnya akan mengawasi dan memberikan rekomendasi kepada lembaga-lembaga pemerintah dalam penanggulangan terorisme," kata Direktur ICJR Anggara dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Jumat (1/11).

Ia menjelaskan tantangan yang akan dihadapi dengan Laporan dan Rekomendasi dari TPPT adalah bagaimana meningkatkan komitmen dan kepatuhan lembaga-lembaga pemerintah untuk menindaklanjuti Laporan dan Rekomendasi dari TPPT tersebut.

"Kertas kebijakan yang disusun oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini adalah upaya untuk memperkuat mandat, perangkat, pengaturan, dan kelembagaan dari TPPT untuk memastikan TPPT DPR dapat bekerja dengan maksimal dan menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif untuk penanggulan terorisme di Indonesia," pungkasnya.

Ia menjelaskan terlepas dari berbagai apresiasi dan kritik yang menyertai perjalanan tentang UU Nomor 5 Tahun 2018 ini, Indonesia perlu lebih serius untuk memikirkan langkah-langkah non-punitif untuk menangani terorisme. Terorisme adalah kejahatan serius lintas batas yang memiliki dimensi kuat dari sisi ideologis, karena itu pendekatan hukum pidana bukanlah satu-satunya cara dalam melawan terorisme. Diperlukan berbagai pendekatan untuk menimalkan sekaligus menangkal perkembangan terorisme.

Menurut Anggara, kemiskinan, pengangguran, persepsi ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, penyingkiran dari partisipasi sosial dan politik, korupsi yang tersebar luar, lemahnya institusi penegakkan hukum, dan perlakuan buruk secara terus menerus terhadap kelompok tertentu dapat memicu kemunculan gerakan ekstremisme kekerasan. Apalagi jika dibarengi dengan ketidakmampuan Negara untuk menyediakan hak-hak dasar, layanan dasar, dan keamanan.

"Kesemua hal ini mendorong munculnya persepsi ketidakadilan dan ketidaksetaraan sekaligus menciptakan ruang yang lebar untuk menyambut lahirnya kelompok-kelompok non-negara untuk mengambil alih kendali negara di wilayah negara tersebut," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: