JAKARTA - Salah satu faktor penting yang menjadi kunci keberhasilan pengembalian aset-aset milik pemerintah daerah yang sudah dikuasai oleh pihak lain adalah faktor pelapor, dalam hal ini pemerintah daerah itu sendiri (bupati/wali kota/gubernur).

“Pelapor harus ngeyel untuk mengembalikan aset-aset pemerintah daerah ini,” kata Koordinator pada Jaksa Agung Muda (JAM) Intelijen Kejaksaan Agung—yang baru saja diangkat menjadi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali—Didik Farhan Alisyahyadi dalam Seminar Nasional tentang Peran Kejaksaan dalam Penyelamatan Aset Negara sebagai Pilar Pembangunan Nasional yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung dan Alumni Universitas Brawijaya Malang di Jakarta, Selasa (15/10).

Didik menceritakan pengalamannya ketika terlibat dalam proses mengembalikan aset Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur. Menurut dia, setidaknya ada 11 aset Pemkot Surabaya yang dikuasai pihak lain.

“Semua aset yang hilang pasti ada (unsur) melawan hukumnya. Lalu kita masuk lewat kasus korupsi. Terus masuk ke media massa. Baru setelah itu nyerah swastanya,” kata Didik, yang juga mantan wartawan tersebut.

Didik mengungkapkan salah satu modus yang dilakukan oleh pihak swasta untuk menguasai aset milik pemerintah daerah. Awalnya, kata dia, pihak swasta mengajukan izin—misalnya, penutupan jalan. Lantas, aset tersebut dikuasai. Pemerintah daerah pun mengajukan gugatan, yang pada akhirnya sebagian besar kalah di pengadilan terutama dalam perkara keperdataan, bahkan sampai tahap peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).

Salah satu contoh kasus di wilayah Pemkot Surabaya adalah kasus aset Yayasan Kas Pembangunan (YKP) Surabaya berupa tanah dan bangunan yang nilai totalnya mencapai Rp5 triliun. Pada Juli lalu, aset YKP telah kembali ke Pemkot Surabaya. Proses pengembalian aset berlangsung sejak 2016.

Luas total tanah yang berhasil diselamatkan Pemkot Surabaya dan kejaksaan sejak 2016 hingga 2019 mencapai 346.278,25 meter persegi senilai Rp579 miliar—di luar aset YKP senilai Rp5 triliun itu.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengakui ketidaklengkapan berkas-berkas menjadi penyebab utama kekalahan pihak Pemkot di pengadilan. “Akhirnya kami memutuskan untuk bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Surabaya,” kata Risma.

Selain langkah hukum dengan kejaksaan, kata Risma, dia juga proaktif untuk menyurati instansi-instansi yang dianggapnya bisa membantu proses pengembalian aset. Sebanyak 31 instansi dia surati, meski tak satu pun berhasil. “Bahkan sampai KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) saya surati juga,” ujarnya.

Dari sisi hukum, menurut akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Priya Djatmika, arus besar hukum pidana saat ini adalah restorative justice. Tidak zamannya lagi hanya memenjarakan orang atau menderitakan orang tetapi harus dapat mengembalikan aset.

“Sudah benar pendekatan jaksa sekarang. Pendekatan restoratif untuk menyejahterakan negara dan rakyat dalam mengembalikan aset-aset negara,” kata Priya. (G-1)

BACA JUGA: