JAKARTA - RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mendapatkan penolakan dari masyarakat karena substansinya dianggap bermasalah. Padahal draf terbaru RUU KUHP yang terbaru itu sendiri sangat sulit untuk diakses masyarakat. Sosialisasi yang tersumbat itu membuat aturan ini ditolak.

Ahli hukum pidana dari Universitas Pancasila Rocky Marbun mengatakan sosialisasi kepada masyarakat yang tidak paham hukum itu sangat penting. "Sosialisasi tidak perlu dibuat di kampus, tapi bisa melalui institusi pemerintahan mulai dari tingkat gubernur sampai tingkat RT," kata Rocky kepada Gresnews.com usai sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (9/10).

Pemerintah wajib memberikan sosialisasi tentang perubahan KUHP itu dan tidak bisa didelegasikan kepada lembaga lain di luar pemerintahan. Tujuannya jelas yakni agar masyarakat langsung mengerti dan tidak berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan undang undang tertentu.

Kritiknya pada pemerintah ketika RUU KUHP hendak disahkan padahal draf terbarunya sulit dicari. Mahasiswa dan elemen masyarakat, termasuk akademisi, tak bisa mendapatkan rancangan itu dengan mudah. Laman resmi DPR, laman Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, tak menyediakan rancangan terbaru hasil pembahasan. Walhasil, sebagian besar materi muatan terbaru yang dibahas para penyusun tak sampai ke publik.

“Bagaimana masyarakat mau memberi masukan bila draf akhir RUU KUHP saja tidak diketahui? Padahal Pasal 5 dan Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyinggung pentingnya asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat,” ujarnys.

Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan itu dilakukan melalui beragam forum seperti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, atau seminar, lokakarya, dan diskusi. (G-2)

 

BACA JUGA: