JAKARTA - Hasil Pemilu 2019 telah menempatkan sembilan partai politik di DPR dengan jumlah kursi 575. Mayoritas pemilik kursi-kursi itu adalah partai pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). PDI Perjuangan adalah pemilik kursi terbanyak: 128 kursi.

"Makin gemuknya koalisi pendukung pemerintah hanya baik untuk kepentingan menjaga stabilitas pemerintahan. Akan tetapi koalisi gemuk ini punya potensi melemahkan fungsi kontrol parlemen menjadi sebagai alat stempel untuk pemerintah saja," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Gresnews.com, Kamis (3/10).

Menurut Lucius, potensi parlemen baru menjadi tukang stempel makin terbuka jika DPR sebagai lembaga mengabaikan peran mereka sebagai kekuatan penyeimbang atas eksekutif. Bagaimana DPR baru bisa mencegah pelemahan parlemen seperti itu?

Ia berpendapat kunci utama agar parlemen bisa menjadi kekuatan penyeimbang adalah dengan mendekatkan diri kepada rakyat dan menjadi saluran untuk aspirasi warga yang luput dalam kebijakan pemerintah. Jika DPR menjadi pendamping lidah rakyat maka mereka bisa punya alasan untuk tetap kritis pada pemerintah sekali pun mereka merupakan bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah.

Koalisi pendukung pemerintahan Jokowi—yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP—memiliki 349 kursi atau 60% kursi DPR. Sementara itu gabungan kursi empat partai lainnya hanya berjumlah 226 kursi atau 40% kursi DPR.

Koalisi pro-Jokowi bisa semakin mendominasi bila Gerindra dan Demokrat mendeklarasikan dukungan ke Jokowi dan masuk barisan koalisi. Jumlah kursi pro-Jokowi akan menjadi 481 kursi atau 84% kursi DPR. Sementara jumlah kursi tersisa yang dimiliki PKS dan PAN hanya 94 kursi atau 16% kursi DPR. (G-2)

BACA JUGA: