JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai kecenderungan anggota DPR periode 2014-2019 memiliki keberpihakan pada kepentingan politik DPR semata bukan pada kelompok rentan. Itu nampak pada cepatnya pengesahan revisi UU KPK namun justru menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Jika dibandingkan dengan RUU KPK yang juga merupakan inisiatif DPR dan dapat diselesaikan pembahasannya dalam waktu kurang dari dua minggu, sementara itu RUU PKS ditunda-tunda pembahasannya hingga hampir tiga tahun. "Kami berharap ke depan RUU PKS tidak hanya dibahas oleh satu komisi saja, tetapi lintas komisi. Karena persoalan kekerasan seksual itu bukan soal persoalan perempuan saja melainkan berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan lainnya," ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Rabu (2/10).

Azriana menolak jika Badan Musyawarah DPR periode baru ini kembali menunjuk Komsi VIII untuk membahas RUU PKS. Diketahui, Komisi VIII membidangi soal agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan. Jika tidak memungkinkan dibahas lintas komisi maka RUU PKS sebaiknya dibahas oleh komisi yang membidangi hukum dan HAM

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sepanjang 2018 Panitia Kerja RUU PKS Komisi VIII telah melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pakar, ormas agama, masyarakat sipil, dan Komnas Perempuan. Namun demikian, lanjutnya, hingga akhir masa tugas anggota parlemen periode 2014-2019 selesai, RUU PKS tidak dibahas dan tidak disahkan.

Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU PKS  dilakukan sejak 2014 melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog dan penyelarasan dengan berbagai fakta dan teori. Tercatat 313 kali konsultasi yang telah dilakukan dengan berbagai pihak untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU, antara lain: akademisi dari berbagai universitas di Indonesia, lembaga bantuan hukum dan lembaga pendamping korban, para ahli hukum pidana, HAM dan gender, para psikolog, penegak hukum, pemerintah daerah, tokoh agama dan Adat, lembaga HAM, dan juga institusi pemerintah yang relevan.

Diskusi penentuan judul dan pengaturan sebagai hukum yang khusus (lex specialist) merujuk pada pembelajaran dari pelaksanaan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pembelajaran yang pada akhirnya menemukan beberapa hal pokok yang harus diatur dalam RUU PKS, yakni pentingnya perubahan cara pandang, pola pikir dan perilaku negara dan masyarakat terhadap kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, bukan tindak kesusilaan.

Lalu, pencegahan kekerasan seksual harus dimulai dari penelusuran akar masalah kekerasan seksual, yakni adanya ketimpangan relasi antara korban dan pelaku. Perubahan konstruksi hukum penting menempatkan pengalaman korban sebagai basis mengenali kekerasan seksual, pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak korban, serta pemidanaan terhadap pelaku.

Terakhir, perubahan sistem hukum khususnya hukum acara, termasuk pembuktian yang memberikan kemudahan bagi korban mendapatkan akses keadilan. (G-2)

 

BACA JUGA: