JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Rencananya, RUU Pertanahan akan disahkan DPR bersama pemerintah pada 24 September juga. Ada sejumlah pasal dalam RUU Pertanahan yang dinilai bermasalah dan tidak berpihak pada petani.

"RUU Pertanahan tidak memuat reforma agraria yang berjalan sesuai harapan rakyat, sehingga tidak dapat memenuhi hak rakyat atas tanah," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (23/9).

Dewi menyebut banyak pasal karet yang memuat ancaman kriminal dan diskriminatif terhadap petani, masyarakat adat, serta aktivis agraria. Pasal karet tersebut antara lain dimuat dalam bab hak atas tanah, bab penyidik pengawai negeri sipil, dan ketentuan pidana. Padahal, hak warga negara, termasuk petani dan masyarakat adat, atas tanah dan sumber agraria lainnya telah dijamin konstitusi, yakni dalam Undang-Undang Pokok Agraria, UU Perlindungan Petani, dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain pasal karet, ada sembilan masalah lainnya dalam RUU Pertanahan, yakni pokok-pokok RUU yang dinilai bertentangan dengan UU Pokok Agraria Tahun 1960. Kemudian, dimuatnya hak pengelolaan (HPL) yang merupakan wujud penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN). Lalu, masalah hak guna usaha (HGU). RUU Pertanahan juga dinilai menyimpang dari reforma agraria, membiarkan konflik agraria, mengingkari hak (ulayat) masyarakat adat, dan membuka lebih luas hak atas tanah untuk pihak asing.

Rencana pembentukan Lembaga Pengelolaan Tanah (LPT) atau Bank Tanah melalui RUU Pertanahan juga dinilai menjadi masalah karena badan ini tidak lain adalah badan spekulan tanah yang dibiayai APBN dan swasta, bahkan terbuka bagi penanaman modal asing langsung. Terakhir, pendaftaran tanah yang diatur dalam RUU ini dinilai tak memuat asas keadilan sehingga justru menyebabkan sektoralisme pertanahan. (G-2)

BACA JUGA: