JAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Slamet Pribadi berpendapat presiden sebagai kepala negara harus dilindungi harkat dan martabatnya sehingga pasal penghinaan terhadap presiden diperlukan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Kendati demikian adanya pasal ini tak berarti presiden tak boleh dikritik.

"Pendapat saya memang harus ada perlindungan terhadap presiden. Yaitu jika seseorang sudah menyerang pribadi presiden. Jangan sampai Presiden Republik Indonesia jatuh martabatnya," kata Slamet kepada Gresnews.com seusai diskusi bertajuk Mengapa RUU KUHP Ditunda? di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).

Slamet menegaskan harus dibedakan antara menyampaikan kritik dan menghina presiden. Ketika seseorang mengkritik presiden tidak perlu dikenakan pasal pidana, karena siapapun diperbolehkan menyampaikan kritik, mengajukan usulan, dan marah terhadap kebijakan presiden. Tapi tidak boleh menghina presiden.

Menurut Slamet, tentu ada cara yang membedakan antara mengkritik dan menghina. Para ahli bahasa adalah orang yang tepat dalam memahami bahasa dan tata kalimat. Terlebih lagi para penyidik sebelum menetapkan pasal ini akan mendengar dan meminta pendapat dari ahli bahasa. "Ini sebagai bagian dari demokrasi juga, karena tidak boleh dipasung," katanya.

Ia menjelaskan pembahasan RUU KUHP ini sudah sangat lama dan mengakomodasi baik norma agama, hukum adat, maupun norma kesusilaan. Rancangan ini sudah dibuat puluhan tahun lamanya dan bersumber dari unsur hukum Indonesia.

"Ini pekerjaan rumah dari rezim lama, proses pembuatan rancangan itu sangat lama. Jadi yang dibicarakan pakar atau kelompok sekarang sudah dibicarakan dari dulu," tutup Slamet. (G-2)

BACA JUGA: