JAKARTA - Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)—draf per 15 September 2019–dinilai gagal memisahkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pengurus dalam perkara lingkungan.

“Tidak ada ketentuan RUU KUHP yang menjelaskan kapan pengurus bertanggung jawab,” kata dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Dr. Andri G. Wibisana dalam pernyataan tertulis yang diterima oleh Gresnews.com, Jumat (20/9).

Menurut Andri, tanpa adanya ketentuan itu maka pelaksanaan pertanggungjawaban korporasi dapat mengakibatkan penerapan pertanggungjawaban korporasi berubah menjadi pergeseran tanggung jawab dari korporasi ke subjek hukum orang (pengurus), di mana orang ini bertanggung jawab atas tindak pidana yang tidak dilakukannya.

Sementara itu, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya M. Handayani berpendapat pembuktian tindak pidana lingkungan hidup (Pasal 346 dan 347 RUU KUHP) akan semakin sulit karena adanya unsur melawan hukum dan akibat.

“Pelaku akan berdalih kalau punya izin maka tidak akan mungkin ia melawan hukum dan menyebabkan pencemaran atau kerusakan. Seharusnya tidak perlu lagi unsur itu, cukup dibuktikan apakah tindakan pelaku melebihi baku mutu pencemaran atau kriteria baku kerusakan,” ungkapnya.

Perumusan pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana lingkungan hidup dalam RUU KUHP juga mengubah model dan pola yang dimuat dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Rumusan jenis pidana yang diancam kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup dirumuskan dengan model alternatif, sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan secara kumulatif. Hal ini tentunya membuat hakim hanya bisa menjatuhkan pidana denda atau penjara, tidak bisa menjatuhkan keduanya. Padahal RUU KUHP mengatur pedoman pemidanaan yang bisa mengenyampingkan model kumulatif dalam hal tertentu. Selanjutnya, dari ancaman pidana, RUU KUHP juga tidak menggunakan ancaman pidana minimal khusus, sehingga hakim diberi kebebasan menjatuhkan pidana serendah-rendahnya. Untuk ancaman pidana maksimal, UU Nomor 32 Tahun 2009 merumuskannya secara lebih tegas.

“Perumusan pidana dan pemidanaan tindak pidana lingkungan hidup menjadikan tindak pidana ini seolah tindak pidana biasa, bukan menjadi tindak pidana serius. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Jokowi yang menyebutkan Indonesia berada dalam kondisi kritis kemanusiaan karena kerusakan lingkungan hidup. Sehingga tidak terlihat niat baik Pemerintah dan DPR memuat rumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam RUU KUHP,” kata Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Even Sembiring. (G-1)

 

BACA JUGA: