JAKARTA - Komitmen Presiden Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi kian dipertanyakan setelah mengirim surat presiden (surpres) kepada DPR RI untuk melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). DPR pun telah mengesahkan revisi UU KPK kendati mendapat gelombang penolakan yang kuat pada Selasa (17/9).

Rapat paripurna pengesahaan revisi UU KPK dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Berdasarkan hitungan manual, rapat paripurna hanya dihadiri 80 anggota DPR saat dibuka. Meski demikian, Fahri menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota Dewan.

"Ini kekuatan oligarki yang sudah menguasai DPR dan Presiden," kata Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada Gresnews.com, Rabu (18/9).

Menurutnya, pemerintah dan DPR sudah tidak lagi bekerja untuk rakyat sesuai konstitusi. Namun kedua lembaga tersebut hanya bekerja untuk kepentingan kelompok atau golongannya sendiri.

Dalam draf Revisi UU KPK yang merupakan bahan rapat Panja Baleg bertanggal 16 September 2019 yang didapat Gresnews.com menyebutkan setidaknya beberapa poin penting revisi UU KPK. Pertama pegawai KPK akan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), lalu KPK menjadi lembaga pemerintah atau eksekutif.

Poin lainnya adalah KPK perlu meminta izin dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan kepada Dewan Pengawas yang merupakan lembaga baru di KPK. Peyidik KPK berasal dari kepolisian, kejaksaan dan ASN, tak ada lagi penyidik independen.

Penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung sehingga KPK tak punya kewenangan otonom dalam penuntutan. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tak lagi jadi kriteria. KPK akan sulit mengusut perkara suap dengan nilai dibawah Rp1 miliar.

KPK juga kini memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Pada praktiknya selama ini, KPK tidak dapat menerbitkan SP3 sehingga dalam penetapan tersangka, KPK terkesan sangat hati-hati. Pada draf revisi UU KPK pasal 40, KPK kemudian diberi wewenang untuk dapat menerbitkan SP3 jika tak dapat memenuhi berkas perkara penyidikan dan penuntutan (P21) dalam jangka waktu setahun. (G-2)

BACA JUGA: