JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebut karhutla 2019 menunjukkan ketidakcakapan Jokowi dalam menangani masalah.

“Perlu dicatat, periode pertama pemerintahan Jokowi dibuka dan ditutup dengan karhutla. Dengan segala hormat kepada tim yang sudah bekerja di lapangan, masalah ini adalah tanggung jawab utama presiden,” kata Deputi Direktur Pengembangan Program ICEL Raynaldo Sembiring kepada Gresnews.com, Selasa (17/9).

Menurut Raynaldo, pendekatan pemerintah ketika menangani karhutla masih sebatas penanggulangan dan penegakan hukum. Fungsi pencegahan dan pengawasan masih minim perhatian.

“Dalam penelitian audit kepatuhan karhutla yang disusun ICEL (2017), dijumpai temuan belum adanya pengawasan periodik dan intensif, data pencegahan dan pengawasan yang tidak transparan, serta belum adanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG),” ujarnya.

Evaluasi perizinan juga tidak pernah dilakukan. Bahkan perizinan di bidang lingkungan seringkali dianggap menghambat investasi dan hendak dipangkas. Hal ini tampak jelas dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 mengenai Online Single Submission (PP OSS) di mana dikenal adanya Izin Lingkungan hanya berdasarkan komitmen semata.

Pascakarhutla 2015, Presiden membuat Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Tetapi Inpres tersebut tidak dijalankan dan diawasi dengan serius. “Dari hasil sengketa informasi antara ICEL dengan Kemenkopolhukam pada 2018, terungkap bahwa tidak pernah ada laporan pelaksanaan Inpres tersebut, sehingga pelaksanaan pengendalian karhutla yang diamanatkan Inpres itu patut dipertanyakan,” tuturnya.

Adapun dalam amar Putusan Sengketa Informasi Nomor 001/1/KIP-PS-A/2017 yang disebutkan Raynaldo, Komisi Informasi memerintahkan kepada Kemenkopolhukam selaku Termohon untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres Nomor 11 Tahun 2015 dan memberikannya kepada Pemohon sebagai informasi publik yang terbuka untuk umum.

“Kemudian terhadap Putusan CLS (Citizen Law Suit) Palangkaraya yang isinya adalah pelaksanaan kewajiban hukum saja pun, Presiden masih mau mengajukan PK (Peninjauan Kembali). Seandainya dari tingkat banding Presiden tidak PK maka kebijakan dan sistem pengendalian karhutla berdasarkan putusan tersebut sudah tersedia. Terakhir yang perlu diingat, sebagian dari isi putusan tersebut berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia,” kata Raynaldo.

Berdasarkan situs SiPongi milik KLHK, tercatat titik api terbanyak muncul di seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan. Saat ini seluruh daerah tersebut terpapar kabut asap beracun. Bahkan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) Palangkaraya sempat tercatat mencapai angka 2.000, sangat jauh dari angka indikator batas aman 50 dan indikator berbahaya 300-500 yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.

Pencemaran udara akibat karhutla telah mengakibatkan dampak luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penderita ISPA di Riau menurut data Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan pada Minggu (15/9) telah mencapai 15.346 orang. Ribuan anak sekolah diliburkan. (G-1)

BACA JUGA: