JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pasal pengguguran kandungan di Rancangan Undang-undang KUHP (RKUHP) mengancam korban perkosaan dan diskriminatif. RKUHP justru memuat ketentuan seperti dalam rumusan UU Kesehatan dengan membedakan perlakukan antara dokter dengan korban. 

Peneliti ICJR Genoveva Alicia berharap pemerintah dan DPR sebaiknya kembali mendiskusikan pidana aborsi atau pengguguran kandungan dalam RKUHP yang berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan. "Sampai dengan draft versi 28 Agustus 2019, RKUHP masih memuat ketentuan mengenai penguguran kandungan. Setiap perempuan yang mengugurkan kandungannya masih dipidana," ujarnya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (14/9).

Menurutnya RKUHP justru memuat ketentuan seperti dalam rumusan UU Kesehatan dengan membedakan perlakukan (diskriminatif) antara dokter dengan korban. RKUHP memuat pengecualian berupa tidak memidana dokter yang melakukan penguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan pengecualian untuk perempuan yang melakukan tidak dimuat.

ICJR meminta kepada Pemerintah dan DPR membuka kembali diskusi dan mempertimbangkan kasus-kasus seperti ini dalam merumuskan ketentuan mengenai aborsi. Ketentuan mengenai aborsi apabila tidak diatur minimal sama dengan UU Kesehatan, sebaiknya dihapuskan sebagai perwujudan komitmen Pemerintah dan DPR untuk melindungi korban perkosaan.

Jika memang Pemerintah dan DPR tidak mengatur ketentuan mengenai aborsi di dalam RKUHP, maka ketentuan mengenai aborsi dalam UU Kesehatan harus direvisi agar tidak mengandung syarat waktu bagi korban perkosaan untuk melakukan aborsi, namun pertimbangan aborsi didasarkan atas alasan kesehatan dan kondisi psikologis.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara berani mengatur kebolehan tentang aborsi melalui ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b jo. Pasal 76 UU Kesehatan. Namun dalam praktiknya ketentuan tersebut tidak dapat terlaksana. Pasal 75 ayat (2) huruf b jo. Pasal 76 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa aborsi boleh dilakukan apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan, dengan syarat hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. (G-2)

 

BACA JUGA: