JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada 28 Agustus 2019 mengabulkan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh berkaitan dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) 1 yang diterbitkan oleh Gubernur Aceh untuk pembangunan PLTA Tampur-1 di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Dalam putusannya majelis hakim menetapkan Gubernur Aceh telah melampaui kewenangannya dalam menerbitkan izin tersebut.

“Keputusan ini menjadi peringatan keras bagi rencana pembangunan proyek lain yang didasarkan atas perizinan yang bermasalah dan mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),” kata Direktur WALHI Aceh M. Nur dalam keterangannya yang diterima Gresnews.com, Rabu (4/9).

Menurut Nur, rencana pembangunan PLTA Tampur-1 sudah banyak ditentang oleh organisasi masyarakat sipil, karena IPPKH yang diterbitkan oleh Gubernur Aceh melanggar aturan perizinan dan melampaui kewenangan. Selain itu PT Kamirzu selaku pemegang izin juga terbukti tidak memenuhi kewajiban atas ketentuan-ketentuan dalam izin ini.

Untuk memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat, Pemerintah Provinsi Aceh telah meluncurkan beberapa proyek pembangkit listrik seperti PLTA Peusangan (kapasitas 84 MW), Unit Pembangkit Listrik Nagan Raya 3 dan 4 (kapasitas 200 MW), PLTG di Krueng Raya (kapasitas 50 MW), dan PLTB Jaboi di Sabang (kapasitas 15 MW).

“Jika semua proyek ini berhasil maka Aceh akan memiliki kelebihan energi. Saya heran kenapa pemerintah Aceh masih memaksakan membangun PLTA dengan menenggelamkan ribuan hektare hutan lindung dan satu desa. Pemerintah Aceh harusnya fokus memaksimalkan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada agar bisa menghasilkan sekitar 400 MW surplus kebutuhan, atau mengembangkan alternatif program energi baru di luar kawasan hutan yang tidak berdampak negatif pada ekosistem dan masyarakat lokal,” ujar Nur. 

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan gugatan WALHI Aceh dan putusan PTUN Banda Aceh tersebut mengindikasikan adanya masalah serius di bidang tata kelola perizinan usaha di daerah dan berimplikasi pada pengabaian terhadap prinsip keberlanjutan daya dukung lingkungan untuk kepentingan bisnis kelistrikan. “Jika tidak segera ada pembenahan menyeluruh, perizinan usaha akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik korupsi politik di daerah,” ujar Dadang. (G-2)

BACA JUGA: