JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan meminta Rancangan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak bersifat administratif belaka. Namun mengatur kekhususan jenis kekerasan seksual dan kekhususan hukum acara penanganan korban kekerasan seksual.

"Keduanya merupakan inti RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini, dan tidak dapat diatur di RUU Hukum Pidana," kata Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu dalam keterangannya kepada Gresnews.com, Sabtu (31/8).

Berdasarkan hasil pemantauan perkembangan pembahasan DIM pada 27 Agustus 2019 dan juga pernyataan publik salah satu anggota Panja, diketahui ada kecenderungan RUU ini akan diarahkan untuk mengatur hal-hal yang bersifat administratif. Melihat perkembangan ini, Komnas Perempuan mendukung perbaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) oleh Pemerintah dengan judul RUU Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Hal itu karena materi inti muatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual berupa: (1) Ragam tindak pidana kekerasan seksual dan pemidanaannya; (2) Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; (3) Pencegahan; (4) Koordinasi Pemantauan; (5) Perlindungan; dan (6) Pemulihan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan mencirikan RUU ini bukan bersifat administratif. Tanpa muatan jenis delik kekerasan seksual, pemidanaan dan hukum acara khusus, RUU ini akan menjadi Undang-Undang yang tidak memiliki kedayagunaan melawan kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan.

Pengaturan khusus jenis kekerasan seksual membantu korban dan aparatur penegak hukum dalam RUU ini untuk memproses kasus yang selama ini tidak diakomodasi dalam hukum positif. Kemudian pengaturan khusus terkait penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan, akan menjamin korban tidak direviktimisasi dan membuat korban dapat memberikan keterangan dengan jelas, hingga akhirnya membantu negara menyelesaikan kekerasan seksual yang dialaminya. (G-2)

 

BACA JUGA: