Lonceng berdentang kencang, kebebasan sipil di masa reformasi saat ini dalam kondisi terancam. Nampak jelas terlihat dalam kasus penangkapan Robertus Robert, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) oleh polisi di rumahnya (7/3/2019) dinihari. Robert menjadi tersangka karena bernyanyi mars ABRI yang digubah dalam Aksi Kamisan ke-576, 28 Februari 2018 lalu.

Robert dijadikan tersangka berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang perubahan atas UU 11/2009 tentang ITE dan/atau Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP. Saat itu Robert sedang berorasi, menyampaikan pendapatnya dan mencoba mengajak kita merefleksikan terkait bahaya laten dari dwi fungsi ABRI yang saat ini hendak dihidupkan kembali.

Ia sedang menyampaikan haknya berpendapat untuk mengkritisi terkait wacana dari pemerintahan Joko Widodo memasukan personil TNI yang non-job untuk mengisi di jabatan sipil. Tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan semangat penghapusan dwi fungsi ABRI yang telah dijalankan, terutama sejak era Gus Dur sebagai amanat reformasi.

Robert sendiri hanya mengingatkan negara dalam hal ini pemerintah dan TNI agar mematuhi amanat reformasi, serta mendorong agar TNI lebih profesional dan tidak menjelma lagi kembali sebagai ABRI yang menjalankan dwifungsinya. Ia tidak sedikit pun menghina institusi TNI. Dalam orasinya ia justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan semasa Orde Baru.

Reaksi aparat keamanan dalam hal ini polisi yang menangkap Robert dapat dianggap sebagai tindakan intimidasi dan kriminalisasi, apalagi apabila dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang diterapkan dalam KUHAP. Ini merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan ini jelas ditujukan untuk menimbulkan iklim ketakutan kebebasan berekspresi di tengah-tengah masyarakat.

Terlebih penerapan pasal yang disangkakan pada Robert tak tepat dan selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi. Misalnya Pasal 28 Ayat 2 jo UU ITE, secara lugas bermuatan tentang larangan untuk menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan keresahan dan kekacauan, utamanya terkait SARA (suku, ras, agama dan antar golongan). Pasal ini menjadi salah satu pasal dalam UU ITE yang mendapat sorotan publik lantaran sifatnya melar dan represif.

Sejak UU ITE pertama kali diundangkan tahun 2008 sudah memakan banyak korban. Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sampai 31 Oktober 2018 terdapat sekitar 381 korban yang dijerat dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2). Sembilan puluh persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan hatespeech (ujaran kebencian). Pada kenyataannya, banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal dan terlapor justru mereka yang kritis seperti Robert atau bahkan rakyat biasa yang justru mendapatkan perlakuan tak adil dari pelapor.

Jelas sekali terlihat bahwa UU ITE ini digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik dilihat dari timpangnya relasi kuasa antara pelapor dan terlapor. Tampak pula dari beragam kasus dalam UU ITE ini pola pemidanaannya dengan bentuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy dan persekusi kelompok.

Penjeratan Robert dengan menggunakan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia juga sangat tidak tepat. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Seharusnya jika lembaga kepolisian ataupun TNI yang merasa terhina, seharusnya yang berhak melakukan pengaduan adalah Kapolri atau Panglima TNI sebagai pejabat struktural yang dimandatkan untuk memimpin lembaga tersebut.

Dalam kehidupan demokrasi yang dilakukan Robert masih dalam koridor penyampaian pendapat dan kebebasan berekspresi. Hal itu merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2). Begitu pula dalam Pasal 28 E ayat (3) secara eksplisit menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat. Pasal 22 ayat (3) UU Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekpresi tersebut yang secara internasional juga dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12 tahun 2005.

Apa yang dilakukan Robert telah secara tegas didukung oleh konstitusi, pengekangan terhadap hak itu adalah pelanggaran hukum serius serta mencederai amanat konstitusi. Karena itu penting untuk meminta Presiden Joko Widodo dan kapolri untuk mengevaluasi kinerja penyidik yang telah melakukan proses hukum terhadap Robert sebagai bentuk keseriusan menjaga amanat Konstitusi, Reformasi dan Demokrasi. Penyelesaian kasus Robert ini menjadi refleksi bagaimana nasib demokrasi Indonesia ke depan. Apakah akan jatuh pada otoritarian kembali dimasa pemerintahan sipil yang dipegang Joko Widodo?

BACA JUGA: