Beragam jurus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dikeluarkan untuk menggulung habis perilaku koruptif. Selain aksi operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi andalan KPK, langkah lainnya pun telah ditempuh, misalnya lewat sektor pendidikan. KPK telah menandatangani MoU dengan Mendagri Tjahjo Kumolo, Mendikbud Muhajir Efendi, Menristekdikti Mohamad Nasir dan juga Menag Lukman Hakim pada Selasa 11 Desember 2018 terkait urgensi pengembangan kurikulum pendidikan anti korupsi di semua level pendidikan yang berlaku efektif Juni 2019 bertepatan tahun ajaran baru.

Pendidikan anti korupsi ini penting ditanamkan sejak dini agar menjadi sebuah perilaku bersama yang dapat terus berkembang menjadi sebuah budaya anti korupsi. Memang sejauh ini semua jurus yang dikeluarkan KPK belum menunjukkan hasil gemilang. Hal itu bisa dilihat dari semakin sibuknya KPK melakukan aksi penangkapan-penangkapan. Sejak KPK berdiri saja sudah ada 107 kepala daerah yang harus mendekam dalam penjara. Ada 69 orang anggota DPR dan 161 orang anggota DPRD yang kasus korupsinya telah ditangani KPK. Belum lagi menghitung para hakim, aparatur sipil negara (ASN) yang juga kena tangkap KPK.

Bila menilik dari Indeks Perseps Korupsi (IPK) pun nilai Indonesia masih jauh dari target. Tahun 2018 nilai IPK Indonesia hanya naik satu poin saja menjadi 38 dari skala 0-100 setelah stagnan di skor 37 sejak 2016. Indeks mendekati 0 mengindikasikan korupsi suatu negera semakin tinggi sedangkan mendekati angka 100 menunjukkan semakin bersih dari korupsi. Peringkat Indonesia pun naik ke posisi 89 dari 180 negara dibandingkan 2017 yang berada di peringkat 96 dari 180 negara. Namun masih jauh dari target IPK yang ditetapkan KPK yaitu 49 poin. Kenaikan skor tipis ini berasal dari peningkatan itu disebabkan proses berusaha, perizinan, dan investasi semakin mudah di Indonesia. Bukan dari perbaikan dua sektor yang mendapat nilai terendah dalam penilain IPK yakni penegak hukum dan sistem politik.

Perilaku antikorupsi pada penegak hukum misalnya masih sering mendapat sorotan. Dalam hal penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi aparat penegak hukum seperti polisi dari 11.000-an yang wajib lapor baru 30 persennya saja yang telah melapor. Setali tiga uang dengan kejaksaan dari 10.000-an yang wajib lapor baru 11 persen saja. Tak beda juga dengan para politisi di gedung bundar baru tujuh persen saja yang menyerahkan LHKPN. Bahkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon terang-terangan meminta LHKPN ini dihapuskan saja cukup dicatat saat melaporkan pajak saja. Padahal LHKPN ini penting sebagai alat pemantau harta kekayaan para pejabat. Lantaran bisa kita bandingkan harga para pejabat ini sebelum dan sesudahnya menjabat.

Dalam sistem politik yang juga mengkhawatirkan adalah adanya mahar politik saat pemilihan kepala daerah. Mahar politik ini terang dilakukan oleh semua partai politik. Itulah yang menjelaskan ratusan kepala daerah ditangkapi KPK. Biaya politik untuk menjadi kepala daerah sungguh besar, KPK menyebut sekitar Rp 10 miliar baru untuk maharnya saja. Belum lagi biaya politik untuk hal lainnya seperti kampanye dan lainnya. Sementara pendapatan seorang bupati/walikota hanya sekitar Rp 5,8 juta saja. Taroh kata ditambah sampingan lainya mencapai Rp 100 juta saja dalam 5 tahun baru mendapatkan Rp 6 miliar. Artinya bupati ini masih tekor sekitar Rp 4 miliar sehingga ia pun pontang panting mencari kekurangannya hingga melakukan korupsi.

Menilik belum ada hasil optimalnya pemberantasan korupsi ada baiknya paska pemilu 2019 mendatang, pemimpin nasional dan jajaran aparatur penegak hukum duduk bersama. Siapa pun pemenang pemilu nanti mulai menyusun rencana aksi, bukan sejadar desain saja. Lakukan pencegahan proaktif dari hulu sampai ke hilir agar terjadi keseimbangan upaya pemberantasan korupsi secara komprehensif. Seluruh komponen bangsa harus aktif karena perang melawan korupsi ini dibiayai dana APBN yang sangat tinggi, jika tidak dari rakyat pembayar pajak, dari hutang yang kian menumpuk. Perlu juga diingat bahwa masalah korupsi bukan kesalahan komponen politik semata, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat. Jangan lupakan kekeliruan pendidikan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi; sejak rekrutmen dalam pekerjaan sampai pada purnatugas, baik di birokrasi maupun di swasta yang membuat masyarakat berperilaku koruptif. Maka dari itu langkah KPK mulai mengenalkan pendidikan anti korupsi sejak dini sudah sepatutnya kita dukung.

 

 

 

 

 

BACA JUGA: