Upaya pemberantasan korupsi tak selalu berjalan mulus, ada saja hambatannya. Salah satu peristiwa yang mencuat ke publik adalah saat dua penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianiaya tatkala mengecek indikasi dugaan tindak pidana korupsi dalam rapat antara Pemerintah Provinsi Papua dan DPRD Papua. Laporan dari KPK menyebutkan pegawai itu mengalami retak pada hidung, sobek di bagian wajah dan dirampas barangnya.

Peristiwa itu terjadi di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat menjelang tengah malam, Sabtu, 2 Februari 2019. Sementara Pemerintah Provinsi Papua sendiri membantah adanya penganiayaan. Mereka menyebut telah mengantar kedua penyidik ke polisi untuk diperiksa dalam kondisi bugar dan sehat. Kini, kedua pihak pun saling melapor, bola ada di kepolisan untuk menelisik apa sesungguhnya yang terjadi.

Atas intimidasi yang diterima, KPK tak gebnar. Seolah hendak menunjukkan tajinya beberapa hari setelah peristiwa itu KPK menetapkan dua tersangka, anggota DPR Fraksi PAN Sukiman dan Natan Pasomba sebagai Pelaksana Tugas dan Pejabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf), Papua Barat. Kasus itu berkaitan pengurusan dana perimbangan pada APBN-P 2017 dan APBN 2018 untuk Kabupaten Pegaf, Papua Barat. Selain itu KPK pun membeberkan delapan kasus korupsi di Papua lainnya yang diduga terdapat kerugian negara senilai Rp201 miliar.

Memang untuk mengukur korupsi secara aktual merupakan sesuatu yang mustahil tetapi berbagai data bisa digunakan untuk menilai apakah sebuah daerah memiliki masalah korupsi atau tidak. Dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), Papua masuk dalam sepuluh besar provinsi dengan kasus korupsi kepala daerah terbanyak. Sementara data Kepolisian Daerah Papua mencatat ada 97 tersangka dugaan kasus korupsi sepanjang Januari hingga Agustus 2018. Adapun kerugian negara yang dilakukan para koruptor ini mencapai Rp 548,1 miliar. Jelas sudah Papua termasuk daerah merah rawan korupsi.

Padahal provinsi ini telah menikmati gelontoran dana otonomi khusus (otsus) sejak 2011 yang nilainya mencapai triliunan rupiah.  Hingga 2017, pemerintah telah menggeluarkan dana otsus sebesar Rp 63,8 triliun. Alokasi ini di luar anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Alokasi dana otsus tahun 2018 masing-masing berjumlah sebesar Rp 8 triliun. Pada 2019, alokasi dana otsus untuk Papua adalah Rp 8,3 triliun. Gelontoran dana ini diharapkan dapat dimanfaatkan memperbaiki kualitas infrastruktur, mutu pendidikan, kualitas guru, dan perbaikan taraf hidup pegawai negeri. Besar harapan kucuran dana otsus dapat berdampak pada perbaikan kualitas layanan publik. Namun karena fungsi pemerintahan yang tidak berjalan efektif, banyak dugaan bahwa dana otsus justru banyak diselewengkan baik oleh elit pusat maupun daerah.

Padahal kita semua faham bahwa korupsi merupakan kejahatan yang melahirkan pemusatan kekayaan pada sekelompok atau perorangan baik secara legal maupun illegal. Dampaknya bukan hanya menghambat pembangunan, korupsi juga melahirkan ketimpangan pendapatan serta menciptakan jurang yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Dan itu lah yang terjadi di Papua dan daerah lainnya yang digerogoti kasus-kasus korupsi.

Sejak empat tahun terakhir, Papua menjadi prioritas dalam program pembangunan infrastruktur pemerintah yang bertujuan meningkatkan konektivitas dan menggugah daya saing daerah. Beberapa proyek besar dibangun di provinsi ini. Ada jalan Trans Papua yang merupakan jalan nasional yang membentang dari Sorong, Papua Barat ke Merauke, Papua. Proyek lainnya jembatan Holtekamp dibangun di atas Teluk Youfeta yang menghubungkan Holtekamp dan Hamadi. Pembangunan jembatan dengan tipe box baja pelengkung ini dibiayai dari APBN sebesar Rp858 miliar, APBD Papua Rp445 miliar, dan APBD Jayapura Rp382 miliar. Belum lagi proyek lainnya seperti kelistrikan dan proyek perhubungan seperti pembangunan bandara di Papua.

Pemberantasan korupsi di Papua harus mendapatkan perhatian khusus karena pertaruhan yang paling nyata bila terjadi kegagalan adalah ketidakstabilan. Pemerintah pusat jangan sekali-kali menjadikan Papua sebagai objek penghasil devisa semata, Berdayakan masyaratnya dan bangun daerahnya. Program dana otsus jangan sampai dimanipulasi atas nama akselerasi pembangunan. Bila itu dilakukan hanya akan melahirkan apatisme publik di Papua.

Pada titik tertentu apatisme publik itu dapat berubah bentuk menjadi ketidakpuasan atas kondisi Papua. Bukan tak mungkin percikan ketidakpuasan itu justru disalah artikan oleh pemerintah pusat sebagai cara-cara makar.  Jangan sampai pemerintah salah menangkap sinyal-sinyal ketidakpuasan akibat korupsi dan meresponnya dengan represif mengingat di Papua juga ada sekelompok masyarakatnya yang memang melakukan makar hendak berpisah dari Indonesia. Jadi sangat penting bagi pemerintah pusat menegaskan kondisi darurat perang melawan korupsi di Papua, bukan perang melawan orang Papua.

Pemerintah Pusat dapat melibatkan diri secara aktif mendukung agenda KPK. Seperti membantu membangun sistem pemanfaatan teknologi informasi untuk mengawasi penggunaan dana otsus Papua. Diharapkan publik bisa mengakses informasi dana otsus dengan mudah hingga dapat ikut mengawasi penggunaannya. Tak kalah penting juga melakukan penguatan kelembagaan pemerintahan melalui modernisasi birokrasi serta mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya sejalan dengan agenda reformasi birokrasi di pusat.

Sebagai pilar kelima demokrasi, peran media massa di Papua perlu dibuka aksesnya seluas mungkin. Lemahnya kelompok sipil di Papua dalam ditambal dengan penguatan peran media massa yang menjalankan fungsi kontrol sosial dan pengawasan. Pemerintah pusat harus fokus melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi dengan masif. Tanpa melupakan memperbaiki kondisi ekonomi Papua. Jangan sampai muncul anggapan maraknya korupsi sebagai akibat bermunculannya proyek infrastruktur di Papua.

BACA JUGA: