JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) secara tegas menyebutkan, Komisi Informasi (KI) adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang ini. Menjalankan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik, serta menyelesaikan sengketa Informasi Publik melalui mediasi dan atau ajudikasi nonlitigasi. Namun dalam konsep dan pengaturannya, kemandirian KI ini dinilai justru dibatasi oleh undang-undang itu sendiri, yakni Pasal 29 UU KIP.

Ketentuan Pasal 29 UU KIP tersebut dinilai menunjukkan KI bukanlah lembaga mandiri.  Lantaran banyak hal terkait menajemen lembaga ini yang harus diatur pemerintah melalui pengaturan kesekretariatan sebagaimana tertuang dalam ayat 2, 3, 4, dan 5. Pasal 29 ini menetapkan Sekretariat KI dipimpin oleh sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dinilai nyata-nyata telah menghambat kemandirian KI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai penyelesai sengketa.

Demikian pula di daerah, kesekretariatan diatur oleh pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berwenang. Pengaturan tersebut,  selain secara norma bertentangan dengan sifat kemandirian KI sebagai lembaga kuasi peradilan, juga berpengaruh dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KI.

Pemberlakuan Pasal 29 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) dianggap para Komisioner KI telah merugikan  hak-hak konstitusionalnya. Karena itu Komisi Informasi dibantu kelompok masyarakat sipil dari Koalisi Untuk Keterbukaan Informasi (KKI) pun menggugat UU KIP.

"Meskipun didesain sebagai lembaga mandiri, namun dalam pengaturannya tidak konsisten memposisikan KI sebagai lembaga yang mandiri," kata Veri Junaidi, kuasa hukum KKI kepada Gresnews.com, Selasa (11/11).

Menurut veri, disatu sisi tugas dan fungsi utama KI adalah menyelesaikan sengketa informasi. Di sisi lain sekretariat KI masih ditunjang dan berasal dari Pemerintah. Padahal Pemerintah sendiri termasuk dan merupakan badan publik yang setiap saat bisa menjadi pihak dalam sengketa informasi yang penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Informasi.

"Bagaimana mungkin Komisi Informasi dapat independen sedangkan ada bagian dari dalam dirinya yang berasal dari salah satu pihak dalam sengketa yang diadili oleh Komisi Informasi," ujarnya.

Ia berpendapat, sudah menjadi asas hukum yang diakui dan diterima secara universal bahwa ´nemo judex in causa sua´, tak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik ketika ia menghakimi dirinya sendiri. Meskipun yang mengadili adalah Komisioner KI, namun selalu ada proses dan prosedur yang mengawali sebuah persidangan sebelum perkara tersebut disidangkan oleh Majelis Hakim (Ajudikator).

Proses tersebut seluruhnya dilakukan oleh personalia sekretariat KI, mulai dari pendaftaran perkara hingga dikirimkannya putusan kepada para pihak. Dengan kata lain, Sekretariat KI itu lah yang melaksanakan tugas dan fungsi administrasi. Termasuk administrasi perkara sehingga prinsip independensi dan imparsial tidak hanya dituntut dari Komisioner KI, tetapi juga harus meliputi semua aparatur yang terlibat di dalamnya.

Hal tersebut menunjukan bahwa kemandirian Sekretariat KI juga tidak bisa dilepaskan dari kemandirian dan independensi Komisi Informasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, khususnya dalam penyelesaian sengketa informasi.

Kenyataannya, dukungan administratif, organisatoris, personalia, dan finansial di Komisi Informasi dilakukan oleh sebuah sekretariat yang berasal dari Pemerintah (Keminfo) untuk Komisi Iinformasi Pusat; SKPD yang membidangi urusan informasi dan komunikasi untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota, bukan oleh Sekretariat Komisi Informasi yang mandiri.

Sementara dalam penyelesaian sengketa informasi, Pemerintah yang salah satunya adalah Keminfo juga potensial untuk menjadi pihak yang bersengketa. Buktinya, selama kurun waktu tahun 2010-2014 telah terjadi 21 sengketa dengan termohon dari Keminfo. "Keadaan demikian pada prakteknya terbukti menyulitkan pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Informasi," jelasnya.

Lembaga peradilan atau penyelesai sengketa dapat dikatakan mandiri ketika mandiri pembiayaan atau penganggaran dan organ pendukungnya. Hal ini juga tidak dimiliki oleh Komisi Informasi, karena baik anggaran maupun organ pendukungnya, keduanya masih belum mandiri dan mencerminkan independensi sebuah lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat mandiri.

Anggaran KI Pusat masih menginduk dan bergantung pada mata anggaran Kemenkominfo. Sementara KI Provinsi dan KI Kabupaten/Kota masih menginduk dan bergantung pada mata anggaran SKPD yang menaunginya penentuan pagu (besarannya) sangat bergantung pada kebijakan anggaran yang ada di kementerian/SKPD yang bersangkutan. Demikian pula organ pendukungnya,  tidak bisa terlepas sepenuhnya dari induk organisasinya dalam melaksanakan tugasnya.

Ketidakmandirian Sekretariat KI juga dikebiri pertanggungjawaban Sekretariat KI.  Tidak seperti UU lain yang mengatur lembaga-lembaga mandiri seperti UU yang mengatur KPK, KPU, Bawaslu dan lembaga lainnya.

Karena alasan itu, para pemohon menganggap pemberlakuan Pasal 29 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU KIP telah mengakibatkan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon untuk menjalankan tugas dan wewenang sebagai komisioner pada Komisi Informasi. Kerugian konstitusional yang dialami Pemohon antara lain, tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara optimal dalam menyelesaikan sengketa informasi.

Kemudian terhambatnya proses penyelesaian sengketa yang diajukan oleh pemohon kepada Komisi Informasi. Tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi pemohon informasi akibat tidak mandirinya Komisi Informasi dalam penyelesaian sengketa informasi. Serta sulit terpenuhinya hak atas informasi bagi pemohon.

"Lahirnya pasal dan frasa dalam undang-undang itu telah sangat mengganggu dan menghambat aktivitas Pemohon untuk memberikan keadilan untuk penyelesaian sengketa informasi," jelasnya. Seperti diketahui, sidang perdana pengujian Pasal 29 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU KIP digelar kemarin, Senin (10/11).

BACA JUGA: