JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meskipun bukan pelanggaran kode etik, Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai ada tiga hal yang dapat dibaca dari fenomena keberangkatan pimpinan Mahkamah Agung (MA) ke Wakatobi dengan jet pribadi (private jet). Pertama, budaya internal di MA saat ini masih seperti budaya birokrasi ala Orde Baru, budaya menghambur-hamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi.

Kedua, MA tidak memiliki konsep yang jelas terkait pengelolaan anggaran dan program, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lebih condong pada perspektif  ´aji mumpung´, mumpung ada yang bayarin. Ketiga, Sekjen MA gagal dalam menerjemahkan reformasi birokrasi. "Sekjen MA lebih suka memfasilitasi pimpinan MA secara eksklusif dan bermewah-mewah agar dinilai baik oleh pimpinan MA," kata Erwin kepada Gresnews.com, Selasa (6/5).

Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali beserta Wakil Ketua MA Bidang Yudisial dan seluruh Ketua Kamar kecuali Kamar Pidana, berangkat menuju Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada Jumat (2/5), menggunakan pesawt private jet yang disewa.  MA sendiri berdalih kepergian pejabatnya ke Wakatobi adalah dalam rangka pembinaan (Baca: Pelesiran Ke Wakatobi, MA Berdalih Lakukan Pembinaan).

Rombongan yang terdiri dari 65 orang dari MA ini, mengaku melakukan serangkaian acara pembinaan teknis dan administrasi yustisial bagi pimpinan pengadilan, hakim, dan panitera/sekretaris pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama se-Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, di Wakatobi Sulawesi Tenggara.

Dalam laman kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/, disebutkan anggaran kegiatan, untuk perjalanan dan akomodasi peserta dibebankan kepada DIPA masing-masing satuan kerja (Satker). Sedangkan untuk Tim MA dibebankan kepada DIPA Badan Urusan Administrasi dan Kepaniteraan MA. Khusus untuk transportasi pimpinan, karena keterbatasan jadwal pesawat reguler menuju tempat penyelenggaraan pembinaan, maka perjalanan menuju Wakatobi menggunakan pesawat di luar jadwal reguler.  Pembiayaan extra flight ini dibebankan kepada biaya operasional yang dialokasikan untuk masing-masing pimpinan Mahkamah Agung.

Menanggapi perilaku para hakim agung itu, KY langsung ambil sikap. Komisioner KY Imam Anshori mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti dugaan para hakim agung pelesiran dibiayai pengusaha tambang itu. Imam melihat apa yang dilakukan Hakim Agung dengan melaksanakan raker di Wakatobi tidak wajar. "KY akan segera melakukan investigasi," ujarnya.

Ada beberapa kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, kenapa raker tersebut digelar di tempat yang jauh padahal bisa di Jakarta. Sebab, kata Imam, Raker tersebut bisa dilakukan di sekitar Jakarta yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Karena untuk mencapai Wakotabi butuh biaya yang mahal. "Apa alasan mereka (MA) Raker ke Wakatobi, itu tidak terlalu urgen," kata Imam.

Kedua, KY juga akan mempertanyakan soal anggaran menuju ke Wakatobi. "Siapa yang dibebani. Apa beban anggaran Raker tersebut dibaiayai negara atau ditanggung pihak lain. Sebab jika negara yang menanggung maka menuju ke Wakatobi kemungkinan akan menggunakan penerbangan komersil. Jika tidak siapa yang menanggung?" ujarnya.
 
Menurut Imam menghelat raker di wilayah pariwisata sekelas Wakatobi sejatinya tidak perlu dilakukan. Sebab secara kode etik hal itu tidak dibenarkan karena mencerminkan hidup mewah.

BACA JUGA: