JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan delapan perusahaan pertambangan mengajukan pengujian terhadap Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) tersebut dianggap telah merugikan para pemohon. Ketentuan itu adalah soal kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Dengan beleid itu pemerintah mewajibkan pengusaha pertambangan membangun smelter. Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba menyebutkan, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Pasal 102: "Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara".

Pasal 103:
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan  pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri

(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang  IUP dan IUPK lainnya

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Terhadap kedua ketentuan tersebut, pemohon mengatakan dalam tingkat implementasi kedua pasal tersebut diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor bijih tambang (raw material) secara langsung. Larangan tersebut telah berlaku sejak 12 Januari 2014. Akibat aturan itu, para pemohon mengklaim telah mengalami kerugian faktual, antara lain dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menyusutkan kegiatan produksi.

Mereka mempersoalkan tafsir pemerintah yang melarang adanya ekspor biji atau raw material karena dinilai bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.

Menurut kuasa hukum pemohon Refly Harun pemerintah tidak memiliki mandat untuk melakukan pelarangan ekspor bijih tambang. Bila itu terus dilakukan, maka pemerintah telah melanggar prinsip negara hukum. "Kalau larangan tersebut memang ada dalam undang-undang, maka harus dinyatakan dengan tegas dan jelas. Tafsir pemerintah tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum," ujar Refly di persidangan, Senin (24/1).

Dia mengatakan, larangan tersebut makin menjadi tidak masuk akan dan merugikan para pemohon karena sampai saat ini hanya sedikit perusahaan pertambangan yang bisa memurnikan bijih tambang sendiri di dalam negeri. Sehinga, kalau larangan ini dipaksakan maka akan banyak perusahaan pertambangan yang gulung tikar. Sebaliknya, ia berpendapat yang harus dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK adalah meningkatkan nilai tambah dan pemurnian bahan tambang, bukan larangan ekspor bijih.

Refly menegaskan pihaknya tidak meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi MK memberikan tafsir konstitusional terhadap kedua pasal tersebut. Pemohon berargumentasi, seharusnya setiap aturan memberikan kepastian hukum seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sementara dalam peraturan pemerintah dan peraturan Menteri ESDM terjadi ketidakkonsistenan.

"Ada perubahan-perubahan kebijakan yang tidak konsisten dalam tingkat peraturan pemerintah dan kemudian dalam tingkat peraturan Menteri ESDM, tetapi kemudian kami memandang hal ini bukan lagi masalah peraturan di bawah undang-undang, tetapi masalah konstitusional menyangkut tafsir Pasal 102 dan Pasal 103 yang kami persoalkan," jelas Refly.

Ia menunjukkan ketidakkonsistenan itu. Ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertama Mineral dan Batubara Pasal 84 ayat (3) berbunyi pemegang IUP operasi produksi dan IUPK operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral atau batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batubara dan mineral dalam negeri sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1).

Menurutnya, inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor bijih, tapi kemudian yang terjadi dalam peraturan pemerintah terbaru dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. "Jadi, satu dapat melakukan ekspor dalam jumlah tertentu, dan kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan larangan ekspor mineral mentah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012. Peraturan tersebut lantas diprotes dan diuji materi oleh Mahkamah Agung. Sebagai penggantinya, diluncurkannya Peraturan Menteri Energi Nomor 11 Tahun 2012, yang memperbolehkan perusahaan tambang pemegang Izin usaha pertambangan (IUP) dan Izin pemanfaatan ruang (IPR) mengekspor mineral mentah berdasarkan rekomendasi Kementerian.

Namun kebijakan itu berubah lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi Nomor 20 Tahun 2013, yang mengharuskan perusahaan pemegang IUP dan IPR melakukan proses pemurnian hasil tambang sebelum mengekspornya ke luar negeri. Peraturan itu mewajibkan perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian dalam jangka waktu lima tahun sejak berlakunya Undang-Undang Minerba.

Tahun ini Kementerian Energi kembali mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014, yang mengatur pembatasan ekspor mineral. Aturan itu mengecualikan komoditas mineral seperti nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium dalam hal pemurnian.
 

BACA JUGA: