JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang uji materil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (6/12).

Diwakili Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Widodo Sigit Pudjianto, pihak pemerintah menyerahkan sepenuhnya persoalan gugatan kolom agama yang diajukan sejumlah penghayat kepercayaan ini kepada majelis hakim MK.

"Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan konstitusional yang berlaku," kata Widodo, menyampaikan inti keterangan pemerintah.

Sebelumya, Widodo menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada satu pun kepercayaan asli nusantara yang diakui sebagai agama dan berhak dicantumkan dalam dokumen-dokumen resmi seperti KTP atau dokumen kependudukan lainnya. Widodo juga menyadari bahwa hal tersebut telah membuat sejumlah penganut kepercayaan atau ajaran leluhur memilih salah satu agama resmi di dalam kolom KTP, namun ada pula lantaran memegang teguh ajarannya sebagian dari mereka kemudian tidak membuat KTP sama sekali.

"Di samping hal tersebut, perlu pemerintah sampaikan bahwa dalam undang-undang a quo memang terdapat beberapa norma yang belum dicantumkan sehingga diperlukan instrumen yang lebih pasti dalam menilai agama kepercayaan tersebut dapat tercatat dalam administrasi kependudukan," katanya.

Sementara itu, anggota Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Engkus Ruswana, turut melibatkan diri sebagai pihak terkait dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut. Sebagaimana para pemohon, Engkus juga menyebut bahwa kebijakan tanda setrip di dalam kolom agama, baik dalam KTP maupun dokumen lain, telah berimbas buruk pada para penghayat.

Engkus menuturkan, tanda setrip di dalam KTP telah menimbulkan stigma di masyarakat bahwa para penghayat adalah sekelompok orang yang berarti tidak beragama, ateis, atau komunis. Secara langsung, stigma semacam itu membuat hak konstitusional para penghayat terlanggar.

Contoh dari persoalan yang disampaikan Engkus antara lain, para penghayat kesulitan melaksanakan kegiatan kepercayaan di lingkungan masyarakat (karena dituduh sesat dan menyesatkan), kemudian sulit melangsungkan pernikahan (khususnya saat hendak memperoleh formulir dari desa atau kelurahan), bahkan jika seorang penghayat meninggal dunia, jenazahnya sulit dikuburkan di tempat pemakaman umum.

Selain itu, Engkus menyampaikan bahwa lantaran kolom agama diberi tanda setrip, para penghayat juga tidak dapat melamar menjadi calon PNS atau TNI/Polri. "Kemudian, kesulitan dalam membuka rekening bank dan akses terhadap keuangan. Bagi penghayat kepercayaan yang masuk kategori miskin, sering kali mereka tidak mendapatkan bantuan sosial atau kesehatan. Itu antara lain yang dialami oleh beberapa masyarakat penghayat," paparnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pokok yang diuji dalam perkara ini adalah norma UU Administrasi Kependudukan yang menyebut bahwa kolom agama di dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penghayat kepercayaan boleh dikosongkan alias tidak diisi. Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 61 Ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 serta Pasal 64 Ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2013 yang pada intinya menyebut bahwa para penghayat kepercayaan akan tetap dilayani dan dicatat saat mengisi KTP atau kartu keluarga, meski kolom agamanya tidak diisi dan cukup diberi tanda setrip.

Para pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa norma a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "frasa agama termasuk juga penghayat kepercayaan dan agama apa pun".

PERTANYAAN PENTING BAGI PEMERINTAH - Menanggapi pemaparan Engkus, 5 dari 8 hakim konstitusi yang memeriksa perkara tersebut mengajukan pertanyaan yang nyaris seragam kepada pemerintah. Para hakim bertanya, apa program atau bentuk sosialisasi yang sebetulnya sudah dilaksanakan pemerintah terkait kebijakan tanda setrip di kolom KTP bagi para penghayat. Para hakim menilai, persoalan yang disampaikan para pemohon dan pihak terkait sebetulnya tidak harus sampai ke MK andai di lapangan tidak terjadi perlakuan diskriminatif.

Hakim juga menilai bahwa persoalan kolom agama adalah segelintir hal kecil dari persoalan yang dihadapi para penghayat secara umum. Bahkan disampaikan hakim Wahiduddin Adams, para pemohon melampirkan bukti-bukti adanya perlakuan diskrimatif yang mereka alami hingga 135 halaman.

"Apa sebenarnya usaha-usaha pemerintah yang sudah dilakukan untuk membangun persamaan persepsi? Sehingga kalaupun ada pengosongan dalam kolom ini, pelayanannya tetap sama," tanya hakim Suhartoyo kepada Widodo Sigit Pudjianto. Sebelumnya, Suhartoyo memaparkan bahwa tampak ada satu stigma tertentu yang diberikan pihak-pihak pemberi layanan publik—baik pemerintah, swasta, bahkan masyarakat umum—sehingga membuat para penghayat merasa diperlakukan tidak adil.

Senada dengan Suhartoyo, hakim Palguna juga menanyakan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dijabarkan pemerintah pusat hingga daerah mengenai kolom agama. "Apakah ada semacam juklak ke bawah kepada para pejabat atau instansi vertikal, yang diberikan oleh pihak kementerian?" tanya Palguna. Menurut Palguna, andai juklak seperti itu ada seharusnya perlakuan diskriminatif terhadap para penghayat tidak perlu terjadi karena adanya satu penafsiran yang sama di dalam memahami suatu norma.

Palguna juga menegaskan, kejadian-kejadian yang dialami para penghayat kepercayaan tidak boleh dianggap sebagai data statistik semata. "Ini adalah persoalan serius karena menyangkut persoalan hak konstitusional," katanya.

Sementara itu, Wahiduddin Adams berharap agar pemerintah turut menghadirkan perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melengkapi keterangan Kemendagri. Disampaikan Wahiduddin, pihak pemerintah yang berurusan langsung dengan para penghayat kepercayaan ada di Kemendikbud, tepatnya di Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Wahid ingin tahu, apakah program pembinaan pemerintah terhadap penghayat kepercayaan sampai juga ke tingkat daerah.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, Widodo menjelaskan bahwa pemerintah sudah memiliki pedoman dalam melakukan pembinaan terhadap para penghayat. Di Kemendagri sendiri, hal itu ditangani oleh Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) yang sekarang berubah menjadi Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum).

Selain itu, Widodo menjelaskan bahwa status kepercayaan berbeda dengan agama. Lantaran itulah kolom agama mereka akhirnya cukup diberi setrip. Menurut Widodo, jika aliran kepercayaan dimasukkan di dalam kolom agama, dikhawatirkan pihak-pihak penganut agama resmi akan melayangkan protes kepada pemerintah.

Terakhir, mengenai bentuk pelayanan pemerintah terhadap para penghayat, Widodo menegaskan bahwa selama ini tidak ada masalah. "Kalau seandainya ada, silakan sampaikan ke kita. Nanti akan kita beri teguran kepada kepala daerah apabila memberi pelayanan yang tidak sama terhadap penganut aliran kepercayaan," katanya.

Sehabis persidangan, Widodo menjelaskan bahwa di dalam menentukan item-item yang mesti tercantum dalam dokumen resmi seperti KTP, pemerintah dan DPR menghendaki agar item-item yang dicantumkan besifat umum. "Di dalam membuat KTP, kita ingin data-data yang dicantumkan berisifat general. Misalnya jenis kelamin, tanggal lahir, dan agama," katanya.

Disinggung apa susahnya menyertakan kepercayaan di kolom agama, Widodo menjelaskan bahwa hal itu berkaitan dengan penafsiran para pembuat kebijakan atas sila pertama Pancasila.
"Ketuhanan yang Maha Esa itu ditafsirkan kita sebagai beragama. Orang beragama. DPR semua maunya begitu," kata Widodo. Jika kata “kepercayaan” dimasukkan ke dalam kolom agama, Widodo menyebut akan ada perdebatan panjang mengenai hal itu.

PERSOALAN PELIK - Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) Trisno Sutanto menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap para penghayat yang tengah mengajukan gugatan atas norma-norma di dalam UU Administrasi Kependudukan. Namun demikian, Trisno juga menyebut bahwa persoalan itu merupakan persoalan pelik

"Intinya begini, konflik yang dihadapi penghayat itu berlapis-lapis, jadi tidak bisa diputuskan hanya lewat satu langkah," kata Trisno kepada gresnews.com. Trisno menjabarkan, jumlah kepercayaan di Indonesia sangat banyak dan hal itu mau tidak mau menjadi kerumitan tersendiri bagi pemerintah.

"Maksud saya begini. Saya menyadari juga kerumitan pemerintah. Kalau misalnya kolom agama itu tidak diberi setrip, para penghayat mau digolongkan ke mana? Karena kepercayaan itu bukan hanya satu bentuk, melainkan sangat beraneka ragam. Itu yang menimbulkan kerumitan," katanya.

Trisno juga menyatakan bahwa jauh sebelum perkara ini dibawa ke MK, MADIA sudah pernah melontarkan gagasan agar persoalan ini diselesaikan dengan mengambil jalan tengah berupa mencantumkan kata kepercayaan seiring kata agama di dalam KTP.

"Langkah praktisnya tentu menghilangkan kolom agama. Tapi kalau seandainya kolom agama itu masih dicantumkan di lembar KTP, maka tulisannya adalah ‘agama/kepercayaan’. Nanti para penghayat tinggal menuliskan kepercayaan yang mereka yakini. Kalau Sunda Wiwitan ya tulis Sunda Wiwitan, kalau Kanekes tinggal Kanekes, dan yang lainnya. Penganut agama juga tinggal mencantumkan agama yang dianutnya. Itu saran alternatif kami," tambahnya.

Meski demikian, Trisno mengakui bahwa saran itu tidak berumur panjang. "Alasannya, percakapan mengenai hal itu terhenti setelah uji gugatan soal PNPS ditolak MK. Teman-teman kemudian sibuk dengan urusan-urusan lain," katanya.

Di luar persoalan tanda setrip, namun masih dalam norma UU Administrasi Kependudukan yang tengah diujikan di MK, Trisno menyoroti satu frasa yang dia nilai ganjil, yakni frasa "Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan". Menurut Trisno, frasa itu membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian. "Itu multi-tafsir sehingga membuat orang bertanya-tanya, apa hak negara mengakui ini agama dan itu bukan. Agama itu adalah sesuatu yang kau yakini," katanya.

Senada dengan Trisno, Engkus Ruswana juga menyebutkan bahwa dalam diskusi yang kerap dilakukan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bersama Kementerian Agama (Kemenag), pihak Kemenag sendiri sebetulnya kebingungan menentukan batas suatu ajaran dapat dinilai agama atau bukan. "Kementerian Agama sendiri sampai saat ini belum ada kriteria yang disebut agama apa, yang bukan agama apa, hal itu tidak ada sampai sekarang," kata Engkus di sela-sela persidangan.

Sementara itu, Trisno menyatakan bahwa sejumlah kerumitan yang dialami pemerintah dalam menyikapi penghayat terkadang timbul karena, sebagaimana manusia pada umumnya, para penghayat tidak memiliki suara bulat dalam memandang suatu persoalan.

Trisno menerangkan, saat ini ada dua kelompok besar di lingkungan para penghayat. Kelompok pertama adalah mereka yang menggabungkan diri dalam suatu organisasi—dan aktif menyuarakan serta memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara—sedang kelompok kedua adalah kelompok yang cenderung bersikap lurus dan menerima berbagai bentuk perlakuan yang diberikan negara kepadanya. Hal inilah yang membuat mereka sulit diidentifikasi karena tidak terdaftar di dalam organisasi. "Bagi mereka, yang terpenting dari menjadi seorang penghayat kepercayaan adalah mewujudkan nilai-nilai ajarannya dalam perilaku sehari-hari. Cukup," kata Trisno.

Terakhir, Trisno juga menyayangkan perlakuan diskriminatif yang kerap diterima para penghayat. Termasuk dalam konteks kolom agama. Menurutnya, hal itu sungguh ironis mengingat di saat bersamaan negara selalu membanggakan kelompok-kelompok penghayat sebagai bagian dari kebhinekaan. "Akibatnya, banyak hak sipil dan hak-hak sosio-ekonomi-kultural mereka yang kemudian hilang. Mereka hanya diakui sebagai warisan budaya yang siap dipajang dalam etalase industri pariwisata," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: