JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak berlangsung mulus. Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar Ahok memperbaiki berkas permohonan uji materiil terhadap UU Pilkada yang memuat aturan wajib cuti kampanye bagi petahana.

"Kami bisa menangkap apa yang pemohon minta, tetapi ada persyaratan yang harus dipenuhi, saudara harus menjelaskan kerugian konstitusional terhadap UU soal bapak tidak merincikan dari sisi mana kerugian hak konstitusional," kata anggota majelis hakim I Dewa Gede Palguna di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Senin (22/8).

Dia menjelaskan harus ada penyampaian secara jelas tentang ada atau tidak kerugian yang dialami pemohon jika permohonan uji materinya hendak dikabulkan MK. "Kalau jelas penyampaiannya kami bisa laporkan ke dalam rapat pemusyawaratan untuk diputuskan hakim, sebab permohonan harus bisa meyakinkan majelis panel," kata Palguna.

Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman, memberikan waktu hingga 14 hari kepada Ahok untuk melengkapi berkas-berkas permohonan yang telah diperbaiki. Karena waktu pendaftaran calon kepala daerah pada Pilkada 2017 sudah dekat yakni September 2016. "Kalau lebih cepat lebih baik," kata Anwar.

Ahok pun menjelaskan dapat merevisi permohonannya dalam waktu sesingkat-singkatnya. "Saya akan secepatnya merevisi permohonan, saya targetkan dua hari bisa selesai, jadi tidak harus menunggu sampai 14 hari," kata Ahok. 

Ahok mengaku telah memahami apa yang diminta majelis panel MK. Karenanya Ahok akan menyusun ulang materi dan disesuaikan dengan masukan hakim. "Intinya pasal yang kami uji ini bertentangan dengan UUD 1945, tadi kami sudah dikasih saran, jika terpenuhi keuntungan apa yang didapat," ujar Ahok yang selama sidang hanya didampingi stafnya, Ryan Ernest, tanpa ada pihak kuasa hukum yang menemaninya.

ELABORASI PENGGUNAAN FASILITAS NEGARA - Dalam persidangan, majelis hakim bertanya kepada Ahok apakah ketentuan dilarang menggunakan fasilitas negara juga termasuk materi gugatan atau tidak. "Mungkin juga bisa dielaborasi, sebenarnya yang diinginkan dalam undang-undang itu agar jangan sampai ada penyalahgunaan kewenangan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi," kata hakim konstitusi Aswanto kepada Ahok.

Pasal 70 Ayat (3) poin b berisi larangan menggunakan fasilitas negara dalam kampanye. Hakim konstitusi memahami, aturan ini dilandasi agar petahana tak menyalahgunakan fasilitas negara untuk berkampanye.

"Pasal 70 Ayat (3) yang bapak maksud ini huruf (a) kan? Tidak termasuk huruf (b)? Kalau itu, nanti bahwa pasal sekian bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang bagaimana? Sepanjang tidak ditafsirkan begini atau sepanjang tidak ditafsirkan begini, misalnya. Ini namanya inkonstitusional bersyarat dalam putusan MK," tutur hakim konstitusi Palguna.

Hakim konstitusi Anwar Usman juga merasa kurang jelas, apakah Ahok ini bermaksud juga menggugat soal aturan larangan penggunaan fasilitas negara itu atau tidak. Apakah Ahok juga menilai ketentuan itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Dia mempersilakan Ahok untuk memperbaiki materi permohonannya.

"Kalau melihat alasan dan permohonan dari pemohon, maka yang diminta juga bukan masalah cuti, tapi juga masalah penggunaan fasilitas negara. Ini (permohonan) nanti bisa diperbaiki," kata Anwar.

Pasal 70 Ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. menjalani cuti di luar tanggungan negara dan
b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

HARAPAN MK TOLAK GUGATAN AHOK - Di tempat yang sama, Ketua DPP bidang Advokasi Partai Gerindra, Habiburokhman, yakin jika Ahok akan kalah dalam uji materiil pasal tentang cuti kampanye. Alasannya jelas Ahok tidak dapat membuktikan kerugian konstitusional atas uji materiil tersebut.

"Tidak mungkin bisa lolos, karena Ahok harus membuktikan kerugian konstitusionalnya, kalau lolos juga Ahok sulit pada berikutnya, meskipun permohon membuktikan jika Pasal 70 Ayat (3) itu bertentangan dengan konstitusi," kata Habib di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/8).

Sementara itu, Jamal Yamani yang juga Sekjen Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) , meminta MK menolak permohonan uji materiil yang diajukan oleh Ahok demi memastikan pilkada yang diikuti oleh petahana bisa berjalan dengan adil tanpa adanya penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh jabatan.

"Sesuai dengan Pasal 70 Ayat (3) UU Pilkada memang petahana harus menjalani cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya selama masa kampanye kalau mau kompetisi berjalan adil," kata Jamal kepada gresnews.com, di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/8).

Menurutnya, tanpa adanya keharusan cuti dan larangan menggunakan fasilitas tersebut maka para penantang petahana dapat diibaratkan seperti bertinju dengan tangan terikat. Penantang akan sangat sulit bersosialisasi sementara petahana bebas bersosialisasi bahkan di masa tenang dengan kapasitas sebagai kepala daerah aktif.

"Ahok sepertinya tidak siap kalah dalam pilkada sehingga terkesan ingin mengkondisikan UU Pilkada agar sesuai dengan kepentingan dirinya, gugatan Ahok seakan memaksakan diri," jelasnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy berharap MK menolak gugatan tersebut. "Kita menunggu putusan MK seperti apa. Kita berharap MK menolak gugatan ini," kata Lukman, Senin (22/8).

Lukman menegaskan bahwa pernyataannya ini bukan karena gugatan itu diajukan oleh Ahok. Tetapi pihaknya mengantisipasi apabila gugatan dikabulkan maka calon petahana di seluruh Indonesia akan mengikuti.

"Okelah kalau Ahok bisa memisahkan antara jabatannya dengan kampanye. Tapi kalau yang di pelosok bagaimana? Seorang bupati, misalnya, bisa saja dia kumpulkan perangkat desa agar dia bisa terpilih lagi. Kalau di Jakarta kita bisa awasi karena di depan mata, tapi kalau di pelosok?" tutur Lukman.

Undang-undang saat ini bermaksud agar calon kepala daerah petahana tak menggunakan kewenangannya untuk kampanye. Cuti kampanye juga bukan merupakan hak melainkan kewajiban calon petahana.

Regulasi ini juga bertujuan agar seluruh calon kepala daerah memiliki kesempatan yang sama saat kampanye. Jangan sampai petahana diuntungkan karena memiliki kewenangan dan jabatan. "Gugatan Ahok sendiri menjadi haknya Ahok," pungkas Lukman. (dtc)

BACA JUGA: