JAKARTA, GRESNEWS.COM - Amnesty International mengecam eksekusi cambuk terhadap lima orang terpidana kasus pelanggaran syariah pada 5 September 2014 lalu di Pidie, Provinsi Aceh. "Pemerintah Indonesia harus mengakhiri penggunaan hukum cambuk sebagai bentuk penghukuman, dan peraturan daerah yang menyediakannya di provinsi Aceh harus dicabut," kata Pekampanye Amnesty International untuk Indonesia-Timor Leste Josef Roy Benedict dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa (16/9).

Lima orang mendapat eksekusi cambuk tujuh atau delapan kali dengan rotan sementara ratusan orang melihatnya di luar Mesjid Al Falah di Sigli, kabupaten Pidie. Mereka semua divonis karena perjudian (maisir) di bawah Qanun No.13/2003 oleh Mahkamah Syariah Sigli pada Agustus 2014. Sebelumnya, pada Juni 2014, empat orang juga dieksekusi cambuk karena perjudian di kabupaten Aceh Tengah. Antara 2010 dan 2013, paling tidak 139 orang dieksekusi cambuk di provinsi Aceh karena pelanggaran-pelanggaran Syariah.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan serangkaian peraturan daerah (qanun) yang mengatur implementasi hukum Syariah setelah pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus pada 2001. Hukum cambuk diperkenalkan sebagai penghukuman yang diterapkan oleh Mahkamah Syariat Islam untuk serangkaian kejahatan.

Kejahatan itu diantaranya hubungan seks di luar perkawinan (zina), mengkonsumsi alkohol, berduaan dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin yang bukan pasangan kawin atau anggota keluarga (khalwat). Hukum cambuk juga berlaku bagi umat muslim yang ditemukan makan atau minum pada siang hari di saat bulan puasa Ramadan, atau setiap orang yang "memfasilitasi" seorang muslim untuk tidak berpuasa selama bulan puasa.

Josef mengatakan, Amnesty International menilai hukum cambuk merupakan salah satu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, yang dilarang di bawah hukum internasionial. Bentuk hukuman itu juga melanggar Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, dan Bentuk-bentuk Perlakuan lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT). "Indonesia merupakan Negara Pihak dari kedua hukum internasional ini," ujarnya menambahkan.

Komite HAM dan Komite Menentang Penyiksaan, secara eksplisit menyerukan Negara-negara untuk menghapuskan hukum cambuk dan segala bentuk penghukuman yang kejam lainnya. Secara khusus pada 2008, Komite Menentang Penyiksaan menyerukan Indonesia untuk mengevaluasi seluruh legislasi nasional dan daerah yang membenarkan penggunaan penghukuman yang kejam sebagai sanksi pidana, dengan pandangan untuk segera menghapuskan penghukuman-penghukuman semacam itu.

Pada 2013 Komite HAM juga menyerukan Indonesia untuk mengambil langkah-langkah praktis untuk menghapuskan penghukuman yang kejam dan untuk mencabut ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan daerah di Aceh yang mengizinkan penggunaanya di dalam sistem hukum pidana. Sebagai tambahan pelanggaran hukum internasional, hukum cambuk bertentangan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang tertera di Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM.

Amnesty International juga prihatin tentang rancangan Qanun Hukum Jinayat yang saat ini sedang ada di hadapan DPR Aceh, yang mencakup hukum cambuk hingga 100 kali bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis dan hubungan seks di luar nikah. "Rancangan Qanun ini mungkin akan disahkan pada akhir September ini," ujar Josef.

Meski merupakan kewajiban HAM Indonesia, pemerintah pusat menolak pencabutan peraturan-peraturan daerah di Aceh tentang Syariah yang menggunakan hukum cambuk sebagai sebuah bentuk penghukuman, dengan argumen bahwa peraturan-peraturan ini merupakan bagian dari aturan otonomi khusus di provinsi tersebut.

Sebagaimana yang digarisbawahi oleh Pelapor Khusus PBB tentang penyiksaan, negara-negara yang menggunakan hukum-hukum agama harus menerapkannya dengan sebuah cara yang tidak memerlukan penerapan penghukuman-penghukuman yang melanggar kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka. "Negara-negara tidak bisa menerapkan ketentuan-ketentuan hukum nasional untuk membenarkan ketidaksesuaian dengan kewajiban-kewajiban mereka di bawah hukum internasional," kata Josef.

"Amnesty International sekali lagi menyerukan kepada pemerintah pusat Indonesia untuk mengevaluasi seluruh peraturan daerah dan aturan lokal semacam itu untuk memastikan pencabutan segala ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum dan standar-standar HAM internasional," tegasnya.

Amnesty International mengingatkan pihak berwenang Indonesia bahwa kewajiban-kewajiban HAM mereka berlaku untuk segala hukum dan praktek di segala tingkatan apa pun – nasional, daerah, atau lokal – dan bahwa pemerintah pusat harus memastikan HAM dihargai di seluruh provinsinya dan daerah-daerah otonom apapun bentuk pengaturan internalnya. "Proses desentralisasi dan otonomi daerah tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia," pungkas Josef.

Seperti diberitakan sebelumnya, lima orang warga Pidie telah dijatuhi hukuman cambuk karena terbukti berjudi. Kelima warga yang dicambuk di depan Masjid Agung Al-Falah Sigli usai Salat Jumat itu adalah Idris Jalil (60), Husaini Yusuf (37), Feri Hidayat M Hasyem (26), Ridwan Salafi (34) dan Bukhari A Gani (42).

Kepala Satpol PP dan WH Pidie, Sabaruddin, mengatakan, kelima terpidana merupakan warga Kecamatan Sakti yang ditangkap polisi pada Februari lalu saat tengah main judi. Mereka dicambuk setelah divonis bersalah oleh Majelis Hakim Mahkamah Syariyah Sigli Pidie. "Vonisnya sekitar bulan Agustus kemarin, tapi baru hari ini dicambuk," kata Sabaruddin, Jumat (5/9) lalu.

Saat eksekusi cambuk berlangsung sekitar pukul 14.00 WIB, seribuan warga Kabupaten Pidie datang ke halaman masjid untuk menyaksikannya. Sebagian warga yang salat Jumat di masjid tersebut memilih tidak pulang dulu sebelum eksekusi cambuk dilakukan. Kelima pelaku dibawa ke lokasi cambuk dengan menggunakan mobil tahanan milik Kejaksaan Negeri Sigli. "Setelah dicambuk tadi, mereka langsung diserahkan kepada keluarga," ungkapnya.

Menurut Sabaruddin, eksekusi cambuk hari ini merupakan pertama kali dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. "Sudah lama tidak ada cambuk di Pidie, baru ini lagi," ungkapnya.

Selain kelima orang yang berjudi itu, ada satu lagi kasus sepasang remaja yang tertangkap tengah berduaan di kamar kos dan digerebek masyarakat Kecamatan Meuraxa Banda Aceh. Saat digerebek warga, keduanya masih berpakaian lengkap.

Pasangan remaja yang diamankan tersebut berinisial F (20) asal Aceh Utara dan perempuan berinisial S (19) asal Medan. Mereka diamankan warga sekitar pukul 00.00 WIB Selasa (9/9) dinihari lalu. Berselang sejam kemudian, keduanya diserahkan ke polisi Syariat Banda Aceh.

Kepala Seksi Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan Syariat Islam WH Banda Aceh, Evendi, mengatakan, pasangan remaja ini diamankan warga setelah mereka melihat F sering tidur di kamar kos S. Karena warga tidak menginginkan desa mereka ternoda, akhirnya dinihari tadi mereka menggerebak pasangan tersebut. "Setelah diamankan baru pukul 1.30 WIB diserahkan ke WH," kata Evendi, Selasa (9/9) lalu.

Saat digerebek warga, keduanya sedang duduk-duduk di kamar. Sehari sebelumnya, warga melihat F masuk ke kos S malam dan baru keluar pagi hari.

Saat ini kedunya masih diperiksa di kantor polisi Syariat Banda Aceh. Menurut Evendi, pasangan remaja ini melanggar qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (perbuatan mesum) dengan ancaman hukuman cambuk. "Hukumannya cambuk, tapi saat ini masih kita periksa," ungkap Evendi. (dtc)

BACA JUGA: