JAKARTA, GRESNEWS.COM – Gagal sudah cita-cita Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk "memaksa" Komisi Pemberantasan Korupsi segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerima gugatan yang diajukan MAKI agar KPK menuntaskan kasus tersebut.

MAKI menduga, KPK telah menghentikan kasus ini karena hingga kini tak juga menetapkan tersangka. MAKI juga menjadikan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai tergugat II agar menegaskan ada-tidaknya kerugian negara sehingga KPK bisa mengambil sikap atas kasus itu.

Sudah dua kali MAKI mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus Sumber Waras ini, namun dua-duanya kandas. Pada gugatan kedua ini, Hakim Pengadilan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk menolak seluruhnya gugatan MAKI kepada KPK.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima seluruhnya dan membebankan kepada pemohon untuk membayara biaya perkara senilai nihil," kata hakim tunggal Nursiam di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Jakarta Selatan, Selasa, (3/5).

Terkait dengan putusan sela yang diajukan MAKI meminta kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menjelaskan laporan audit investigatif dari BPK juga ditolak oleh majelis hakim. Hakim Nursiam menyatakan permintaan termohon tersebut telah melampaui wewenang dari praperadilan.

Dalam gugatan kedua ini, BPK juga diajukan oleh MAKI sebagai tergugat II. Dalam permohonannya, MAKI menyatakan bahwa BPK merupakan kesatuan dari KPK dalam rangka penyelidikan kasus pembelian lahan Sumber Waras.

Pencantuman BPK sebagai tergugat II juga menyita perhatian. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan BPK bukanlah subjek yang bisa diajukan sebagai tergugat dalam kasus tersebut.

"Subjek praperadilan adalah lembaga penyidikan. BPK bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan. Memasukkan BPK sebagai subjek praperadilan telah menyimpang error in persona," kata hakim Nursiam.

Meskipun hakim dalam pertimbangannya menyatakan lembaga praperadilan merupakan proses untuk mengontrol kebijakan lembaga penegak hukum secara horizontal. Tetapi hakim tetap menolak permohonan yang diajukan MAKI.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyayangkan putusan tersebut. Dia menilai gugatan itu layak dikabulkan karena KPK dianggap sengaja berlama-lama menggantung kasus Sumber Waras tanpa ada penyelesaian.

Dia mendesak jika memang tidak ada bukti yang cukup untuk melanjutkan, kasus ini bisa saja dihentikan. "Sebenarnya sederhana. Kalau cukup bukti lanjutkan tapi kalau tidak ada bukti hentikan. Biar kita tidak bertele-tele, kan yang rugi kita semua," kata Boyamin.

Merasa tak puas dengan putusan hakim, Boyamin akan melanjutkan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). "Hari Rabu depan saya akan daftarkan gugatan ke PN Jakarta Pusat," kata Boyamin.

UNGKAP FAKTA MENARIK - Meski gugatan ini ditolak, persidangan gugatan praperadilan terhadap KPK ini sempat memunculkan beberapa fakta menarik. Diantaranya fakta soal perencanaan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang tidak melalui perencanaan matang.

Dalam Rapat bersama Gubernur tanggal 2 Desember 2013 dan 12 Mei 2014, Gubernur memerintahkan untuk membeli lahan Sumber Waras. Namun kajian teknis baru disusun pada Desember 2014 setelah APBD-P 2014 disahkan DPRD pada 7 November 2014.

Dalam penyusunan kajian tim pembelian tanah Sumber Waras juga terdapat keganjilan. Tim dari Dinas Kesehatan membentuk tim pembelian melalui SK 2930 tanggal 29 Desember 2014 kemudian diterbitkan pada 31 Desember 2014 tepat setelah akta pelepasan hak terjadi pada 17 Desember 2014. Konsekuensinya, tim yang dibentuk pun tidak memiliki wewenang pada saat pelaksanaan pengadaan tanah.

SK Gubernur soal penetapan lokasi ditandatangani 19 Desember 2014, sementara pelepasan hak atas tanah dilakukan pada 17 Desember 2014. Dengan demikian, pelepasan tidak didasari atas SK penetapan lokasi oleh Gubernur.

Selain itu, persidangan ini juga mengungkap fakta bahwa pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemprov DKI kemahalan. Ada beberapa faktor yang bisa membuat harga lahan Sumber Waras tidak semahal yang semestinya dibayar Pemprov DKI Jakarta.

Salah satu alasan yang dikemukan Boyamin adalah, lahan yang dibeli tersebut bukan merupakan tanah hak milik dari Yayasan Sumber Waras tetapi berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Menurut Boyamin, kalau yang dibeli adalah seluruh lahan Sumber Waras, baik yang SHM maupun HGB, bisa saja Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)-nya Rp20 juta. Namun karena Pemprov DKI hanya membeli bagian timur dan dengan status tanah HGB tentu harganya lebih murah dari harga yang Sertifikat Hak Milik (SHM).

"Tetapi kalau yang dibeli hanya sebelah timur bagian belakang, tidak ada akses jalan besar, tentu beda, karena yang dijual itu HGB yang mesti diperpanjang setiap 25 tahun dan akan habis dua tahun lagi," kata Boyamin.

Dia menganalogikan dengan pembelian motor. Motor yang pajaknya masih panjang dengan motor yang pajaknya berakhir dua bulan lagi akan berpengaruh dengan harga jual. "Ibaratnya kalau mau beli motor yang mau habis pajaknya dengan motor yang pajaknya masih panjang beda enggak? Ya jelas beda harganya," terang Boyamin.

Selain faktor itu, daerah lahan Sumber Waras di bagian belakang merupakan kawasan rawan banjir dan lahan tersebut belum bisa dibangun karena pihak Yayasan Sumber Waras meminta penangguhan waktu dua tahun karena masih ada beberapa bangunan yang masih beroperasi.

Dari beberapa faktor yang dikemukakannya, Boyamin menilai sebenarnya Pemprov DKI Jakarta seharusnya bisa memberi lahan tersebut dengan harga yang lebih murah sehingga tidak menimbulkan kerugian negara seperti yang dirilis oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Fakta berikut adalah adanya penegasan BPK soal kerugian negara dalam kasus tersebut. Dalam persidangan itu, Kuasa hukum BPK Herry Riyadi menegaskan, BPK mengoreksi angka kerugian negara dalam kasus Sumber Waras menjadi Rp173 miliar setelah melakukan audit investigasi.

Sebelumnya, seperti yang beredar di media massa, nilai kerugian negara dalam kasus ini disebut mencapai Rp191 miliar. "Hasil investigasi terkait pengadaan tanah Sumber Waras nilai kerugian negara 173 miliar rupiah dan telah diserahkan kepada KPK pada tanggal 7 Desember 2015," kata Herry dalam persidangan.

Terkait pernyataan BPK yang mengoreksi angka kerugian negara tersebut, Boyamin mengaku puas. "Saya sangat gembira BPK dalam jawaban resminya menyatakan memang betul dalam kasus sumber waras adalah Rp173 miliar yang utama itu jawaban resmi," katanya.

Dengan adanya pernyataan resmi dari BPK di pengadilan, MAKI berharap, KPK semakin cepat menggarap kasus ini. Boyamin mengatakan, dengan adanya kepastian soal jumlah kerugian negara itu, KPK bisa segera menaikkan status kasus Sumber Waras ke tahap penyidikan yang sebelumnya masih di tahap penyelidikan.

Fakta berikut yang terungkap adalah adanya kesalahan yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dalam proses pembelian lahan Sumber Waras. Dari keterangan saksi ahli terungkap, kesalahan pertama Ahok adalah dalam penyusunan anggaran.

Anggaran untuk membeli lahan Sumber Waras tidak ada dalam APBD-P karena pada saat penetapannya pada 13 Agustus 2015 seharusnya masih dalam koreksi di Kementerian Dalam Negeri (Mendagri). Dalam persidangan terungkap, awalnya APBD itu ditetapkan pada 13 Agustus 2015, kemudian dikirim ke Mendagri beberapa hari setelahnya untuk dikoreksi.

Lalu anggaran tersebut dikoreksi Mendagri termasuk mata anggaran pembelian Sumber Waras. Namun sampai sekarang APBD-P itu tidak pernah diperbaiki oleh Pemprov DKI Jakarta.

Pada 21 Oktober 2015, Ahok mengirim surat ke DPRD agar anggaran tersebut segera disetujui pengesahannya. Padahal 21 Oktober, semua menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah didemisionerkan karena Presiden Joko Widodo dilantik pada 20 Oktober. Pada masa itu, tidak ada Mendagri yang bisa mengoreksi APBD-P tersebut.

Kesalahan kedua, lahan yang dibelikan tersebut pun merupakan lahan sengketa yang belum bisa dilakukan transaksi jual-beli. Lahan itu sedang dalam proses hukum di PN Jakarta Pusat antara Rumah Sakit Sumber Waras dan Perhimpunan Candra Naya. Karena statusnya masih sengketa artinya belum ada pemilik yang sah terhadap lahan tersebut sehingga belum bisa dilakukan transaksi jual-beli.

Lahan Sumber Waras pada 1996 sudah dihibahkan ke Yayasan Sumber Waras, namun karena ada gelombang demonstran akhirnya penghibahan itu kemudian dibatalkan melalui keputusan rapat anggota.

Sebelumnya, pada 1970, lahan tersebut juga pernah dihibahkan ke Yayasan Sumber Waras oleh Patmo Soemasto yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Candra Naya. Namun tanpa persetujuan anggota.

PUTUSAN TEPAT - Putusan hakim PN Jaksel ini memang membuat MAKI kecewa. Sebaliknya, BPK dan KPK menyambutnya dengan gembira.

Kuasa hukum BPK Iwan Fajar Nugroho mengatakan, putusan hakim itu telah menjelaskan BPK bukanlah subjek gugatan praperadilan karena BPK bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan seperti KPK atau Kepolisian. "Dalam pertimbangan majelis menyatakan bahwa BPK tidak tepat diajukan sebagai termohon dalam kasus ini," ujar Iwan.

Pada persidangan sebelumnya, BPK menyatakan, dalam kasus pembelian Sumber Waras sudah dilakukan berdasarkan kewenangannya melaksanakan pemeriksaan investigatif guna menungkapkan indikasi kerugian negara.

BPK juga merilis kerugian negara akibat pembelian Rumah Sakit Sumber Waras menjadi Rp173 miliar sebelumnya Rp191 miliar. Namun Iwan menyatakan cukup puas atas ptusan hakim. "Kami puas," ujar Iwan.

Tanggapan serupa juga disampaikan kuasa hukum KPK Nur Chusniah. Dia mengaku gembira karena hakim telah memenangkan KPK atas gugatan praperadilan itu. Menurut Chusniah, keputusan hakim menolak gugatan MAKI itu tepat.

Dia beralasan, KPK sampai saat ini KPK belum pernah menghentikan penyelidikan kasus tersebut. "Ini gugatan kedua yang diajukan mengenai kasus yang sama yaitu pembelian Rumah Sakit Sumber Waras. Gugatan kedua ini terkait pemberhentian penyelidikan, sedangkan kita belum pernah menghentikan masih jalan," ungkap Nur Chusniah.

Namun Chusniah tak membantah ada kesulitan yang dihadapi KPK dalam menyelesaikan perkara tersebut. Desakan menyelesaikan pun, kata Chusniah, jangan sampai mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.

Lambannya penanganan di KPK bukan berarti KPK tidak bekerja namun bersikap hati-hati KPK. "Setiap kasus ada kendala memang, khusus kasus ini kita proses penyelidikan kita harus hati-hati, kita harus firm menyediakan alat bukti sebagaimana bukti permulaan yang cukup. Kita tetap independen tidak boleh ada intervensi," terangnya.

Nur Chusniah menyatakan adanya proses yang sedang berjalan di KPK. Saat ditanya apakah ada saksi lain yang akan dipanggil Chusniah tidak menampiknya. "Itu kewengan tim penyelidik, mereka yang paling tahu siapa yang layak dipanggil. Tapi ada sih tetapi tak perlu saya omong kan," ungkapnya.

BACA JUGA: