JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menyeret Direktur Utama PT Sarimas Ahmadi Pratama Dasep Ahmadi ke meja hijau terkait kasus pembuatan bus listrik. Jika sebelumnya Dasep dijerat dalam proyek bus listrik di Kementerian BUMN, kali ini ia akan dijerat perkara hukum dalam proyek bus listrik di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).

Kasus ini merupakan pengembangan perkara korupsi sebelumnya dalam pengadaan mobil listrik di Kementerian BUMN, yang korupsinya telah dibuktikan di persidangan. Dalam kasus korupsi di Kementerian BUMN ini sebelumnya  di pengadilan tingkat pertama Dasep divonis hukuman 7 tahun penjara dan harus membayar ganti kerugian negara sebesar Rp17,9 miliar.

Kali ini penyidik Kejagung menetapkan kembali Dasep sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print – 101/F.2/Fd.1/09/2015. Dalam kasus ini Kejagung melakukan penyidikan bersama dengan Bareskrim Polri. Sebab dalam waktu bersamaan Bareskrim juga menyidik kasus yang sama. Polisi telah menetapkan satu tersangka bernama Pariatmono selaku Pejabat Pembuat Komitmen.

"Tim penyidik telah memeriksa 15 saksi untuk menuntaskan kasus ini," terang Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung M Rum dalam keterangannya, Selasa (23/8).

Kemarin, penyidik telah memeriksa dua PNS di lingkungan Kemenristek. Mereka adalah Kadi Subali dan Fajar Perkasa. Kepada mereka jaksa mempersoalkan proses perencanaan pengadaan barang dan jasa prototype bus listrik. Dimana dalam kegiatan itu ditaksir negara dirugikan hingga Rp9,11 miliar.

Dalam kasus ini, Pariatmono selaku PPK menggandeng PT SAP untuk membuat 16 bus listrik dengan anggaran sebesar Rp24 miliar. Anggaran untuk pengadaan 16 bus listrik itu diketahui telah cair 100 persen, namun pekerjaan belum selesai.

Tahun lalu penyidik Bareskrim dan jaksa sempat menggeledah ruang kerja Pariatmono yang saat itu menjabat Deputi Bidang Pendayagunaan Ilmu Pengetahuan Teknologi Kemenristek. Penyidik menggeledah ruang kerja Pariatmono untuk mencari dokumen-dokumen perencanaan, seperti kontrak pembelian bus listrik, sebagai barang bukti.

Pengadaan bus listrik itu diketahui tidak sesuai kontrak. Dari kontrak awal pengadaan bus sebanyak 11 unit, namun yang terealisasi hanya 8 unit. Sedangkan 3 unit lagi dibatalkan. Berdasarkan kontrak, 11 bus harusnya sudah tersedia pada Desember 2013. Namun hingga batas waktu yang ditentukan tidak bisa terealisasi.

Perkara ini bermula pada November 2013‎ saat Kemenristek menggandeng PT SAP dalam pekerjaan pengadaan bus listrik yang ditandatangani Pariatmono. Sementara dari PT SAP diwakili oleh Dasep Ahmadi selaku Direktur PT SAP.

KEJAR DASEP - Dasep terus dikejar dengan kasus-kasus yang berawal dari mimpinya untuk membuat mobil listrik made in Indonesia. Namun faktanya, mimpi itu menyeretnya ke dalam penjara karena dilakukan dengan melanggar hukum.

Dalam kasus pengadaan bus listrik di Kementerian BUMN, Dasep terbukti bersalah. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Dasep. Hakim juga memerintahkan Dasep membayar uang pengganti sebesar Rp17,18 miliar atau diganti hukuman penjara 2 tahun.

Namun Kejagung tak puas dengan putusan tersebut. Kejagung mengajukan kasasi atas putusan banding Pengadilan (PT) Tinggi DKI Jakarta.  PT DKI kembali menguatkan putusan tingkat pertama yang memvonis Dasep bersalah. Namun Kejagung tetap tak puas dan pada Juni lalu lembaga adyaksa ini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

"Kita sudah ajukan kasasi. Kita melihat hukuman yang dijatuhkan jauh dari tuntutan pidana, hanya tujuh tahun, tuntutan kita 12 tahun," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (24/6) lalu.

Tak hanya vonis yang jauh dari tuntutan, jaksa juga tidak terima nama Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, tidak dikaitkan dengan kasus korupsi mobil listrik itu. Sebab, menurut dia, korupsi itu tidak bisa terjadi tanpa rekomendasi dari Dahlan.

Armin mengatakan atas putusan PT DKI, jaksa masih mengkaji dugaan keterlibatan Dahlan. Sebab, di mata Armin, Dahlan tahu proyeknya bakal tidak sukses.

Dari proyek gagal mobil listrik, Armin berkeyakinan ada unsur kesengajaan untuk mengerjakan proyek ini. "Ya, sengaja dia. Waktu dia bikin mobil listrik dia kan mau pamer supaya dilihat hebat. Dia tahu ini nggak bener, negara bisa rugi, tapi bodo amat yang penting ngetop, masa bodo negara rugi," kata Armin yang menyebut konstruksi hukumnya sebagai teori kesengajaan sebagai kemungkinan.

BACA JUGA: