JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meski Markas Besar Kepolisian telah mengumumkan status tersangka terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. Namun Kejaksaan Agung mengaku hingga saat ini belum menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari polisi.

Belum diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap beberapa pihak sebagai bukti nyata kriminalisasi KPK. Ternyata selama ini SPDP memang tidak langsung diberikan pada saat penyidikan, bahkan seringkali baru diberikan saat tersangka memasuki tahanan.

"Dalam KUHP memang tidak diatur lamanya waktu penyerahan SPDP sejak dimulainya penyidikan," kata Pengamat Hukum Pidana, Teuku Nasrullah kepada Gresnews.com, Minggu (24/1).

Dalam KUHP  batas penyerahan hanya tertulis kata "segera" diserahkan kepada penuntut umum. Diberikannya SPDP bertujuan agar penyidik dapat lebih bisa berkoordinasi kepada penuntut umum. Sehingga jika pun SPDP tidak disampaikan maka tak ada masalah.

Hanya saja, penyidik tak bisa melakukan perpanjangan penahanan terhadap tersangka. "Bisa menolak memberikan pernyataan karena penyidik belum memberikan SPDP," jelasnya.

Ia mengatakan, dalam prakteknya, SPDP seringkali baru diberikan pada saat dimulainya penyidikan, atau penyidikan sudah hampir selesai, atau bahkan sudah terjadi penahanan. Sebab, jika SPDP sudah diserahkan oleh penyidik ke penuntut umum, maka penyidik tak dapat menghentikan perkara secara sepihak.

Sedang, bila SPDP belum diserahkan dan terdapat niat penyidik menghentikan perkara maka penyidik berwenang menghentikan dengan keputusan antar penyidik saja. "Jika sudah diserahkan, dan penyidik hendak menghentikan perkara, maka ia harus gelar kasus di hadapan penuntut umum karena perkaranya sudah tercatat di register kejaksaan," katanya.

Sebelumnya, LBH Jakarta menyatakan penyidikan terhadap Bambang Widjojanto (BW), berlangsung secara tidak transparan. Sebab melalui Kapuspenkum Kejagung dikonfirmasi bahwa Kejagung belum menerima SPDP dari Bareskrim Mabes Polri sampai hari ini.

“Sudah jelas penyidik bersikap tidak transparan dalam melakukan penyidikan dengan tidak mengirimkan SPDP," kata Febi Yonesta, Direktur LBH Jakarta dalan pesan yang diterima Gresnews.com, Minggu (24/1).

Febi yang juga merupakan salah satu kuasa hukum BW mengecam tindakan penyidik yang tidak memenuhi prosedur pengiriman SPDP kepada Kejaksaan Agung. Sehingga ia menyatakan indikasi rekayasa kasus semakin menguat dengan tidak dikirimkannya SPDP kepada Kejagung. Sebab SPDP berfungsi sebagai mekanisme Check and Balances dalam melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pasal 8 jo 10 perja 36/A/JA/09/2011.

"Tanpa dikirimkannya SPDP kepada kejaksaan agung, sama saja penyidik menghindari pengawasan kejaksaan agung dalam melakukan penyidikan," tambahnya.

Pernyataan ini ditambahkan Alghiffari Aqsa, Kepala Bidang PSDHM LBH Jakarta yang menjelaskan dalam pasal 15 jo 25 Perkap 14/2012 jelas disebutkan bahwa kegiatan penyidikan harus dilakukan secara bertahap. Mulai dari laporan polisi, surat perintah penyidikan, SPDP, upaya paksa, dan pemeriksaan. Menurutnya penyidikan dilakukan dengan sembrono karena SPDP belum dikirimkan tapi sudah melakukan upaya paksa penangkapan dan pemeriksaan.

"Penyidikan tanpa SPDP sama dengan penyidikan diam-diam, kejaksaan harus tegas dan jangan mau dipermainkan penyidik," katanya.

BACA JUGA: