JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri akhirnya melakukan penahanan terhadap dua tersangka kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara. Kasus itu telah melibatkan pihak PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas--kini SKK Migas) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kedua tersangka yang ditahan itu adalah mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Satu tersangka lain yaitu mantan pemilik PT TPPI Honggo Wendratmo tak ditahan dengan alasan sakit di Singapura.

Penahanan dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka terhadap keduanya pada Kamis (11/2) malam. "Tadi malam dua tersangka telah kami tahan, satu masih di Singapura," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Brigjen Bambang Waskito di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (12/2).

Bambang menyebut dalam kasus korupsi penjualan kondensat ini, kerugian negara sangat besar. Hasil perhitungan kerugian negaranya (PKN) berdasar audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp34 triliun dengan kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini.

Penyidik mengaku tak akan berhenti pada tiga tersangka ini. Polisi akan menelusuri lebih jauh ke mana aliran dana hasil penjualan kondensat tersebut mengalir. "Setelah ini nanti, kita akan lihat kemungkinan berkembang dan tambah tersangkanya. Karena kalau kita melihat dari hasil PKN sangat menakjubkan bagi kita semua," kata Bambang.

Sementara Honggo, kata Bambang, harusnya ditahan bersama dua tersangka lain. Namun Honggo diketahui saat ini dirawat di Singapura setelah operasi. Honggo masih harus dirawat setahun.

Namun polisi akan meminta pandangan dokter. Jika dokter menyatakan harus dirawat setahun, polisi akan mengikuti demi kemanusiaan. Namun polisi akan menerbitkan red notice terkait status Honggo.

"Kita lihat perkembangannya, lewat jalur interpol di sana cek bagaimana kondisinya, kalau di sana jalan-jalan ya segera lakukan upaya paksa," tegas Bambang.

Dengan adanya PKN, penyidik akan segera melimpahkan berkas dan tersangka kasus kondensat TPPI ini ke Kejaksaan Agung. Selama ini berkas perkara dikembalikan oleh jaksa untuk dilengkapi dengan perhitungan kerugian negara.

Dengan keluarnya PKN dari BPK, pelimpahan berkas dan tersangka segera dilakukan. "Dengan demikian, proses penyidikan dianggap tuntas," kata Kepala Subdirektorat Money Laundrying Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Golkar Pangerso di Mabes Polri.

KEBIJAKAN JK - Bambang Waskito mengatakan, penunjukan TPPI untuk mengolah kondensat merupakan kebijakan Wakil Presiden saat itu Jusuf Kalla (JK). Dia bilang tak ada yang salah dengan kebijakan itu. Namun dalam pelaksanaannya disalahgunakan oleh Honggo.

Saat itu Honggo tidak mengolah menjadi premium, solar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun diekspor ke luar negeri. "Tapi TPPI yang diserahin mengolah ini tidak diubah jadi mogas tapi jadi aromatik, aromatik bahan dasar biji plastik. Kebijakan Pak JK bagus, tidak ada masalah," kata Bambang.

Dari dokumen risalah rapat yang diperoleh gresnews.com, JK memang terlihat menjadi pihak yang berinisiatif dalam penunjukan TPPI. Rapat yang berlangsung di Istana Wakil Presiden, Rabu 21 Mei 2008 pukul 16.00 itu dipimpin sendiri oleh Wapres Jusuf Kalla.

Hadir diantaranya adalah Menkeu, Menteri ESDM dan Menteri BUMN serta Menko Perekonomian. Wapres Jusuf Kalla saat itu berinisiatif mengadakan rapat ini dengan tujuan membahas pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran dari PT TPPI dalam penyediaan suplai bahan bakar minyak (BBM) jenis premium RON 88 untuk kawasan Jawa Timur.

Dalam awal rapat disebutkan kondisi TPPI saat ini dalam kondisi berhenti berproduksi karena harga output-nya (produk jadi) lebih murah dari harga inputnya (bahan baku).

Karena itu JK meminta agar PT TPPI sebagai perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai pemerintah (kurang lebih 60%) perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan BBM, khususnya di Jawa Timur. Oleh karena itu kapasitas yang idle ini harus dapat dioperasikan.

Merujuk pada dokumen risalah rapat bernomor B.1172/Seswpres/05/2008 tertanggal 15 Mei 2008 itu juga diketahui, inisiatif untuk mengoperasikan kembali TPPI datang dari pihak komisaris TPPI sendiri. Dalam rapat terungkap pihak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) telah menerima surat dari PT TPPI untuk berpartisipasi dalam pengolahan hasil minyak bumi dan pemanfaatan kapasitas produksi yang ada.

Di situ juga terungkap TPPI pernah mengajukan proposal untuk menjadi badan usaha penerima tugas penyediaan dan pendistribusian BBM tertentu. Namun TPPI juga mengakui kondisi keuangan mereka tidak baik.

Hanya saja TPPI meyakinkan ada beberapa keuntungan yang diperoleh pemerintah jika merevitalisasi TPPI. Diantaranya disebutkan berkontribusi melaksanakan penyediaan dan distribusi BBM di Jawa Timur. Dapat mengurangi impor dan dapat menyediakan tenaga kerja bagi 3.000 orang. Atas berbagai masukan itu, JK kemudian memberikan beberapa arahan.

Diantaranya, JK setuju TPPI dioptimalkan kembali. Pertamina diminta menyediakan kebutuhan kondensat bagi TPPI dengan harga yang menguntungkan Pertamina maupun PT TPPI. Ketiga, Pertamina membeli output mogas TPPI tetapi harga beli Pertamina tidak boleh lebih mahal dari harga impor yang selama ini dibayar Pertamina. Yakni landed price di Surabaya: MOPS plus 1,5% sampai dengan 2%.

Arahan Jusuf Kalla yang terakhir meminta BPH Migas, Pertamina, dan PT TPPI menyelesaikan pembahasan mengenai skema bisnis yang saling menguntungkan bagi PT TPPI dan Pertamina, termasuk harga jual kondensat Pertamina kepada PT TPPI dan harga jual output PT TPPI ke pada Pertamina, serta skema penyelesaian utang-utang PT TPPI.

Sementara kuasa hukum Raden Priyono, Supriyadi, tak terima jika dalam kasus penjualan kondensat hanya kliennya yang dipersalahkan. Karena kebijakan itu berasal dari Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan Menteri ESDM. Kliennya hanya melaksanakan perintah. Supriyadi meminta atasan kliennya juga diproses hukum.

BACA JUGA: