JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan uji materi yang diajukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dinilai berdampak positif terhadap penegakan hukum anti pencucian uang. Akil dalam gugatannya salah satunya memperkarakan kewenangan KPK menyidik kasus TPPU dan juga menuntut agar dalam kasus TPPU harus dibuktikan dulu tindak pidana asalnya.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai putusan itu tepat karena putusan ini memutus banyaknya penafsiran-penafsiran atas pasal-pasal dalam UU TPPU yang selama ini dianggap bermasalah. "Dengan banyaknya penafsiran atas ketentuan tersebut tentunya akan menyulitkan penegakan hukum anti money laundering di Indonesia," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono, kepada Gresnews.com, Sabtu (14/2).

Pada saat pembacaan putusan, Majelis Hakim Konstitusi menyampaikan pertimbangan-pertimbangan terhadap permohonan dari pemohon. Diantaranya, pertama, dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1) UU TPPU sepanjang frasa "atau patut diduganya", majelis hakim berpandangan bahwa perihal terbukti atau tidak, yakin atau tidak yakinnya hakim dalam mengadili suatu perkara semata-mata berdasarkan bukti-bukti di persidangan.  

Bahwa frasa "patut diduganya" juga terdapat dalam KUHP yang merupakan warisan dari kolonial Belanda seperti dalam Pasal 283, Pasal 288, Pasal 292 dan Pasal 480 KUHP. Oleh karenanya dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Kedua, Pasal 69 UU TPPU yang mengatur mengenai tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa andaikata pelaku tindak pidana asalnya meninggal dunia berarti  perkaranya menjadi gugur, maka si penerima pencucian uang tidak dapat dituntut sebab harus membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Adalah suatu ketidakadilan jika seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tetapi tidak diproses pidana hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan terlebih dahulu. Apabila tindak pidana asal tidak bisa dibuktikan terlebih dahulu, maka tidak menjadi halangan untuk mengadili tindak pidana pencucian uang. Oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Ketiga, Pasal 76 Ayat (1) terkait dengan dalil pemohon perihal tidak berwenangnya Penuntut Umum (PU) KPK dalam terdapap penuntutan perkara TPPU. Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa penuntut umum merupakan suatu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau yang bertugas di KPK adalah sama.

Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi kekejaksaan negeri. Oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Keempat, Pasal 77 dan 78 UU TPPU terkait dengan pembuktian harta kekayaan yang dibebankan terhadap terdakwa, Majelis Hakim Konstitusi memberikan pandangannya yakni apabila terdakwa beritikad baik demi kepastian hukum tidaklah sulit baginya untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Lagipula, demi kepastian hukum, kemanfaatan dalam mengejar keadilan didahulukan daripada sekedar formalitas yang bersifat kaku dengan dalih asas praduga taj bersalah. Dengan demikian permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Kelima, Pasal 95 UU TPPU terkait dengan ketentuan peralihan, Mahkamah Konstitusi menilai, kasus konkret mengenai instansi yang berwenang menyidik dan menuntutnya bukanlah persoalan yang dapat dimohonkan pengujian konstitusionalnya ke Mahkamah sebab dalam pengujian konstitusionalitas suatu norma yang diutamakan adalah mengenai pertentangan suatu norma Undang-Undang dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Pada sidang ini juga, dua anggota Majelis Hakim Konstitusi, yakni Hakim Aswanto dan Hakim Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait dengan hal pembuktian tindak pidana asal. Hakim Aswanto dan Hakim Maria Farida berpendapat bahwa TPPU sangatlah bergantung dengan tindak pidana asalnya, oleh sebab itu mereka berpendapat bahwa haruslah dibuktikan  tindak pidana asalnya terlebih dahulu baru dapat memeriksa perkara TPPU.

Sebelumnya, Masyarakat Antipencucian Uang juga menyatakan sangat mengapresiasi putusan MK tersebut. Alasannya, MK masih memandang tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan nonkonvensional yang membutuhkan upaya berbeda dengan tindak pidana umum.

"Terkait dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, itu sah-sah saja sebagai bentuk kemandirian hakim," kata pegiat Koalisi Masyarakat Antipencucian Uang Refki Saputra kepada Gresnews.com, Jumat (13/2).

Refki mengatakan, penggunaan instrumen anti-pencucian uang adalah untuk menyeret seorang pelaku kejahatan (tindak pidana asal) ke pengadilan atas tuduhan transaksi-transaksi mencurigakan yang ia lakukan untuk mengaburkan aktivitas kejahatan yang ia lakukan dan ia nikmati hasilnya.

"Dengan kata lain, pada dasarnya tindak pidana asal tidak harus dibuktikan, tetapi terhadap pelakunya harus dikenakan hukuman dan hasil kejahatannya dirampas untuk negara," ujarnya.   

BACA JUGA: