JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penuntasan kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan masih belum juga menemui titik terang. Presiden Joko Widodo pun berencana segera memanggil Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Jokowi akan menanyakan perkembangan pengusutan teror penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. "Nanti, nantilah Kapolri saya undang, saya panggil," kata Jokowi setelah meresmikan Jalan Tol Becakayu, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (3/11).

Jokowi menegaskan teror ke Novel itu harus gamblang diungkap. Selain itu, tentu, menurut Jokowi, pengungkapan kasus tersebut harus tuntas. "Di prosesnya sudah sejauh mana. Yang jelas semua masalah harus gamblang, harus jelas, harus tuntas," kata Jokowi.

Novel mengalami teror penyiraman air keras pada 11 April 2017. Saat itu, Novel baru saja selesai menunaikan salat subuh di masjid di dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dari belakang Novel, muncul dua orang mengendarai sepeda motor matic menyiramkan air keras ke arah muka Novel dari gelas melamin. Novel pun mengalami luka di kedua mata sehingga harus dirawat di Singapura hingga saat ini.

Dorongan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) terkait kasus Novel memang semakin gencar. Terlebih, kasus itu sudah lebih dari 6 bulan dan belum juga ada kejelasan. Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto sebelumnya menyebut kasus Novel itu tergolong sulit. Dia menyebut pengungkapan kasus itu bisa memakan waktu cukup lama.

"Kalau model kasus-kasus hit and run ini memang relatif sulit, dalam artian kita tidak bisa, bisa saja, ini baru berapa bulan. Ada yang sudah 4 tahun baru ketangkap dia, pelakunya," kata Ari Dono di gedung Polri, KKP, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Rabu (1/11).

Sedangkan terkait pembentukan TGPF, KPK menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi. Menurut KPK, kasus Novel berada di ranah pidana umum dan yang berwenang menanganinya adalah kepolisian.

Terkait rencana pemanggilan Kapolri oleh Jokowi ini, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak yang juga salah satu sahabat Novel Baswedan mengaku siap memberikan data kepada Jokowi terkait kasus itu. "Agaknya, Pak Presiden perlu mendengarkan masukkan, data, dan fakta yang ditemukan oleh kelompok masyarakat sipil terkait kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini," ucapnya, dalam keterangan tertulis, Jumat (3/11).

Data dan fakta yang akan disampaikan itu disebut Dahnil berasal dari upaya kelompok masyarakat sipil yang sebelumnya pernah melakukan penelusuran di lapangan. Upaya ini dilakukan agar Jokowi tidak hanya memperoleh keterangan dari satu pihak saja.

Dia berkata ada keganjilan dalam penanganan teror terhadap penyidik senior KPK ini. Kemudian, dia membeberkan alasan-alasan Polri terkait lamanya penanganan kasus. "Bukan sekedar alasan teknis penyidikan seperti yang disampaikan pihak kepolisian. Bahkan sampai Pak Tito menyatakan kasus Novel lebih sulit dibandingkan kasus bom Bali. Bahkan Kadiv Humas (Polri) menyebutkan kasus ini bisa dituntaskan bertahun-tahun," katanya.

Tidak hanya dirinya, Dahnil juga menyebut ada koalisi masyarakat sipil serta mantan pimpinan KPK juga yang bersedia menyampaikan temuan investigasi yang telah dilakukan. Dengan begitu, menurutnya, Jokowi bisa mendapat gambaran secara rinci di balik kasus ini.

PEMBENTUKAN TGPF - Sudah 205 hari kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tak kunjung terungkap. Lambannya penanganan kepolisian, membuat berbagai kalangan masyarakat mendorong Presiden untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Baik Novel maupun keluarganya juga sudah pesimis teror yang terjadi pada 11 April 2017 ini akan terungkap jika ditangani hanya oleh Kepolisian. Dari pihak Polri sendiri juga menyatakan kasus ini merupakan jenis kasus hit and run yang sulit diungkap, bahkan bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Soal alternatif solusi, menurut KPK tidak tertutup kemungkinan dibuat tim lain di luar tim teknis atau Kepolisian. Pembentukan TGPF bisa menjadi salah satunya. Namun, KPK menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi.

Terkait hal ini, Dahnil Anzar Simanjuntak menegaskan, dia juga sudah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK). Dalam pertemuan itu, Dahnil sempat menyinggung tentang pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk kasus teror penyiraman air keras ke Novel Baswedan.

"Jadi saya ketemu Pak JK menyampaikan 3 hal, tapi hal yang pertama ini saja yang saya sampaikan. Jadi salah satunya adalah saya menyampaikan terkait permintaan dan desakan masyarakat sipil, termasuk mantan pimpinan KPK, terhadap pembentukan TGPF," kata Dahnil.

Dahnil berharap JK ikut bersuara soal pembentukan TPGF Novel. JK, menurut Dahnil, cukup sering berbincang dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait Novel. "Beliau menyampaikan masalah TGPF ini, beliau pada prinsipnya sejak awal sudah banyak bicara dengan presiden, bahkan di dalam diskusi terbatas beliau menyampaikan banyak membahas itu. Jadi pemerintah juga supporting terus terkait dengan pengobatan Novel dan Pak JK juga mengikuti perkembangan itu," terangnya.

Namun, terkait apakah pemerintah sepakat dengan pembentukan TGPF, Dahnil menyebut JK belum memberikan jawaban. Dia berharap JK bisa mempertimbangkan pembentukan TGPF itu.

"Terkait dengan apakah pemerintah, khususnya Pak JK, akan bersepakat dengan TGPF, Pak JK belum menjawab tadi. Kami sih berharap Pak JK bisa supporting dan mendorong TGPF, tapi Pak JK tadi belum menjawab. Mudah-mudahan nanti dipertimbangkan," kata Dahnil.

Dahnil menyebut JK selalu melek informasi terkait kondisi Novel. Bahkan, menurut Dahnil, JK pun tahu tentang penundaan operasi Novel. "Pak JK sudah tahu bahkan. Pak JK tadi menyebutkan mau operasi kemudian batal ya. Saya jelaskan memang ada pembatalan operasi, jadi memang Pak JK mengikuti proses sejak awal perkembangan novel," ujar Dahnil.

Sebelumnya, dukungan pembentukan TGPF juga datang dari mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto (BW). Dia menyebut teror Novel harus diungkap, untuk itu, dorongan pembentukan TGPF harus terus dilakukan. "Mudah-mudahan sih sudah ada titik terangnya di 9 Desember, pas Hari Antikorupsi. Jadi dari titik itu kami ingin mendorong proses yang terus menerus. Kasus Novel ini bisa menjadi sebagai pintu masuk untuk mendorong gerakan antikorupsi jauh lebih dashyat lagi," ucap BW.

BW juga menilai apabila tidak ada tindakan berani dan serius dari KPK terhadap kasus ini dalam waktu dekat, akan sangat mempengaruhi tahun-tahun pemerintahan mendatang. Terlebih lagi mengingat mulai 2018 Indonesia sudah memasuki tahun politik.

"Tahun depan sudah masuk tahun politik. Kalau sampai tahun ini upaya pemberantasan korupsi tidak menembuskan titik terang, itu artinya seluruh upaya politik di tahun 2019 itu bisa jadi malah melegitimasi seluruh proses pelemahan upaya pemberantasan korupsi," terangnya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga ikut angkat bicara soal dukungan pembentukan TGPF itu. "Saya kira bagus kalau dibentuk TGPF, supaya ada kejelasan siapa yang melakukan itu," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/11).

Fadli mengatakan seharusnya polisi dapat dengan mudah menyelesaikan kasus tersebut. Pasalnya, polisi bisa dengan mudah mengungkap kasus yang lebih berat dari itu. "Ini kan kasus sederhana, ada penyerangan terhadap Novel Baswedan, harusnya gampang dong," ujarnya. "Toh kasus rumit saja bisa diselesaikan kok," tambahnya.

Terkait hal ini, KPK menyerahkan pertimbangan pembentukan TGPF ke Presiden Joko Widodo. "Misalnya kalau tim tersebut di bawah Presiden, tentu pertimbangan Presiden dan jajarannya yang menjadi poin di sana. Terkait permintaan teman-teman koalisi sebelumnya itu kan meminta KPK mengirimkan surat kepada Presiden. itu kan sedang dibahas saat ini," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

SULIT DIUNGKAP - Sementara itu pihak kepolisian menegaskan kasus Novel Baswedan memang sulit diungkap. Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto telah mengatakan, teror seperti yang dialami Novel mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi.

"Kalau model kasus-kasus hit and run ini memang relatif sulit, dalam artian kita tidak bisa, bisa saja, ini baru berapa bulan. Ada yang sudah 4 tahun baru ketangkap dia, pelakunya," kata Ari Dono di gedung Polri, KKP, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Rabu (1/11).

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul juga mengatakan, KPK memahami kesulitan mengungkap teror terhadap Novel Baswedan salah satunya minimnya saksi. Tapi KPK tetap menyerahkan pengusutan ke Polri.

"Kan (KPK) sama-sama penyidik, tahu kesulitan-kesulitan teknis dalam mengungkap suatu perkara minimnya saksi," kata Martinus di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (2/11).

Martinus menerangkan, dalam kasus Novel, keterangan para saksi belum dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk menjerat seseorang sebagai tersangka kasus penyiram air keras terhadap Novel.

"Saksi dalam arti yang bisa memilih, minimnya upaya alat-alat bukti yang menjadi dasar untuk menangkap, memproses menahan, memproses orang itu. Itu kan harus terpenuhi," ujar Martinus.

Martinus menjelaskan penyidik Polda Metro Jaya, yang menangani kasus Novel, membutuhkan keakuratan alat bukti sebelum memproses pidana seseorang karena penyidik tak ingin nantinya terjadi salah tangkap.

"Jangan sampai kita melakukan upaya paksa menangkap seseorang yang ternyata bukan. Padahal kita sudah (pernah salah tangkap orang) itu, 1×24 jam (diperiksa), kemudian kita dialami. Ternyata nggak (terlibat), kita keluarkan," terang Martinus.

Terkait sketsa wajah terduga pelaku yang pernah dibuat penyidik Polda Metro Jaya bersama Kepolisian Australia, Martinus mengatakan hasil sketsa wajah tak detail. "Yang dari Australia itu kan nggak bisa, tidak bisa untuk secara detail menjelaskan wajahnya itu seperti apa," ucap Martinus.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menegaskan pihaknya masih terus melakukan upaya penyelidikan guna mengungkap siapa di balik teror tersebut.
"Hanya masalah waktu saja," kata Argo, Jakarta, Jumat (3/11).

Ia katakan, pengungkapan kasus memiliki karakteristik berbeda-beda. Kecepatan penyidik dalam mengungkap kasus tergantung tingkat kesulitannya. "Ada kasus yang cepat diungkap dan ada yang lamban, karena tingkat kesulitannya beda," lanjut Argo.

Argo mencontohkan, kasus pengeboman Kedutaan Besar Indonesia di Paris, Prancis yang terjadi pada tahun 2004 dan 2012 silam. Meski kantor kedutaan tersebut memiliki CCTV yang bisa memberikan petunjuk, namun pelakunya hingga kini belum terungkap. "Itu kasus Kedubes Indonesia di Paris dua kali dibom belum juga terungkap, padahal mereka sudah sangat serius dan sistem CCTV mereka bagus," imbuh Argo.

Argo menyampaikan, Polda Metro Jaya sangat serius untuk mengungkap kasus ini. Ia juga meyakinkan kepolisian terus bekerja untuk mengungkap kasus tersebut. "Penyidik masih terus bekerja mengumpulkan bukti-bukti untuk menangkap siapa pelakunya," kata Argo. (dtc)

BACA JUGA: