JAKARTA, GRESNEWS.COM - Uji materi tentang masa jabatan anggota Komisi Informasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, barangkali menjadi permohonan uji materi yang paling cepat persidangannya. Pengujian yang dimohonkan tiga lembaga swadaya masyarakat dan dua warga negara perorangan ini hanya melalui dua kali persidangan. Sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada Kamis (29/9/16) dan sidang perbaikan permohonan pada Rabu (12/10/16).

Hakim Konstitusi Aswanto, ketua panel pada perkara ini berpendapat, tidak ada urgensi untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak lain selain pemohon. Berlandaskan pada Pasal 54 UU MK,majelis hakim MK langsung memeriksa pokok permohonan dan menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut, pada Sidang putusan, Selasa (7/2).

"Menyatakan frasa ´dapat diangkat kembali’ dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dipilih kembali melalui suatu proses seleksi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008," kata Ketua MK Arief Hidayat, saat membacakan amar putusan atas perkara 77/PUU-XIV/2016, Selasa (7/2).

Menurut anggota majelis lainnya, Aswanto, menimbang permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan yang diajukan para Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa pokok permasalahan yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah permohonan pengujian Pasal 33 UU 14/2008 sepanjang frasa ‘dapat diangkat kembali’ yang oleh para Pemohon dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal itu dibuktikan dari adanya kasus konkrit mengenai pengangkatan secara langsung anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo periode kedua oleh Gubernur Gorontalo tanpa melalui proses seleksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 dan Pasal 32 Undang-Undang a quo.

Aswanto menyatakan, MK menilai frasa ´dapat diangkat kembali´ dalam Pasal 33 Undang-Undang a quo tidak dapat ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan secara sepihak, khususnya oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Terlebih, dalam mekanisme pengangkatan anggota Komisi Informasi sebenarnya telah diatur secara tegas dalam Pasal 30 ayat (2) juncto Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 14/2008.

"Pengisian jabatan anggota Komisi Informasi tidak dapat ditafsirkan tanpa melalui seleksi yang melibatkan pihak lain sebab apabila ditafsirkan demikian, hal itu dapat mempengaruhi independensi atau kemandirian Komisi Informasi," kata Aswanto.

Adapun Pasal 30 dan Pasal 32 UU 14/2008 pada pokoknya mengatur mengenai:

a.syarat-syarat pengangkatan anggota Komisi Informasi;

b.Pemerintah melakukan rekrutmen secara terbuka, jujur, dan objektif dan mengumumkan calon anggota Komisi Informasi tersebut kepada masyarakat guna mendapat tanggapan atau penilaian;

c. Gubernur atau Bupati/Walikota menyerahkan hasil rekrutmen Komisi Informasi Provinsi atau Kabupaten/Kota kepada DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota;

d.Gubernur atau Bupati/Walikota menetapkan calon anggota Komisi Informasi Provinsi atau Kabupaten/Kota yang telah dipilih oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan di atas, MK menilai ada kewajiban Pemerintah, baik Pemerintah Pusat (Presiden) maupun Pemerintah Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota), yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk melakukan proses rekrutmen anggota Komisi Informasi secara terbuka, jujur, dan objektif. Dengan demikian, menurut pertimbangan MK, pada dasarnya masyarakatlah yang memiliki peran menentukan proses rekrutmen atau seleksi anggota Komisi Informasi. Adapun Pemerintah, dalam hal ini baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sesungguhnya lebih berperan sebagai fasilitator.

"Berdasarkan penilaian dan pertimbangan di atas, telah jelas bagi Mahkamah bahwa frasa ´dapat diangkat kembali´ dalam Pasal 33 UU 14/2008 dalam praktik telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai mekanisme pengangkatan anggota Komisi Informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU 14/2008 harus mengacu kepada mekanisme pengangkatan Komisi Informasi yang diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 32 UU 14/2008," kata Aswanto.
 LATAR BELAKANG PERMOHONAN - Perkara 77/PUU-XIV/2016 dimohonkan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Yayasan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), serta dua warga negara perorangan, Muhammad Djufryhard asal Gorontalo dan Desiana Samosir asal Lampung Utara.

Sebelum diputus MK, Pasal 33 UU 14/2008 berbunyi, "Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya". Menurut pemohon, norma tersebut memiliki makna ambigu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

Ambiguitas itu terbukti manakala Muhammad Djufrihard selaku salah satu pemohon tidak bisa menggunakan haknya sebagai warga negara untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo pada tahun 2015 lalu. Saat itu, alih-alih melakukan proses seleksi terbuka, gubernur Gorontalo Rusli Habibie justru langsung meneken Surat Keputusan Nomor 323/11/VIII/2015 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo Periode 2015-2019. Tak tanggung-tanggung, lima orang Komisioner Komisi Informasi (KI) Gorontalo diangkat kembali sekaligus tanpa proses seleksi.

Terkait hal di atas, Djufrihard sempat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Namun, dalam putusannya PTUN Manado menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima dengan alasan Djulfrihard selaku penggugat tidak memiliki alas hukum yang cukup untuk menggugat SK Gubernur tersebut. Atas putusan tersebut, Djulfrihard pun melakukan upaya hukum banding kepada PT TUN Makassar.

Sementara itu, Desiana Samosir selaku pemohon perorangan lainnya menyebut dirinya sebagai Peneliti di Indonesian Parliamentary Center (IPC). Saat ini Desiana tengah aktif melakukan pemantauan proses seleksi Komisi Informasi Provinsi, di Nanggroe Aceh Darussalam Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara, Riau, Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah.

Berdasar hasil pemantauan itulah Desiana menilai, proses seleksi komisioner Komisi Informasi di berbagai daerah cenderung terganggu dengan keberadaan Pasal 33 UU 14/2008 yang memunculkan beragam penafsiran mengenai prosedur pengangkatan kembali Komisioner Komisi Informasi.

Terlepas dari persoalan mekanisme pengangkatan komisioner Komisi Informasi Gorontalo, Desiana sendiri menilai bahwa kinerja para komisioner tersebut tidak memuaskan. Menurutnya, dalam rentang waktu jabatan mereka empat tahun, Komisioner KI Gorontalo telah menerima 22 Permohonan Sengketa Informasi. Namun hingga masa jabatan mereka habis pada 10 Desember 2014 lalu, hanya satu perkara yang berhasil diselesaikan. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: