JAKARTA, GRESNEWS.COM - Warga Kampung Leuser, Hang Jebat, RT 08 RW 08, Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Warga Leuser menggugat putusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Selatan lantaran mengeluarkan Surat Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PD PAM Jaya pada tahun 2012 dengan nomor 1621. Warga meminta agar sertifikat HGB tersebut dibatalkan.

Kuasa hukum warga Leuser Ignatius Agung Yulianto menilai ada perlakuan yangtidak adil yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta terhadap warga Leuser. Pasalnya warga telah menempati tanah tersebut sejak tahun 1955 bahkan telah membayar PBB. Namun warga malah tak mendapatkan sertifikat apapun dan malah pihak PAM Jaya yang mendapatkan HGB.

Agung menilai, ini adalah strategi Pemprov DKI untuk menggusur warga suatu saat nanti. "Biasalah Pemda Jakarta ini kalau mau gusur kan sistemnya begitu. Dianggap pemukiman kumuh lah, penduduk liar lah. Padahal mereka bukan penduduk liar loh, mereka punya KTP," ungkap Agung kepada gresnews.com di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jalan Sentra Primer Baru Timur, Rabu (9/11).

Agung menilai warga telah berusaha membuat sertifikat tanah tersebut sejak tahun 1989. Namun, upaya warga tersebut tak membuahkan hasil karena sejak 1989 sampai saat terbitnya SP2 pemerintah tak pernah menggubris permohonan warga.

"Warga sejak tahun 1989 telah mengajukan Prona (program pembuatan sertifikat oleh pemerintah) namun sampai sekarang tidak ada kejelasan. Tiba tiba April 2016 terbit Surat Peringatan (SP) II oleh Pemkot Jakarta Selatan. Kalau tak bisa diberikan kepada warga berikan alasannya kenapa tapi enggak ada kejelasan sama sekali," ujar Agung.

Agung menilai masyarakat memiliki hak untuk kepemilikan atas tanah yang telah ditempati kurang lebih 60 tahun tersebut. "Memiliki tidak. Mereka itu menguasai dan merawat tanah tersebut. Padahal mereka punya PBB itu kan hak atas permohonan hak atas tanah. PAM Jaya punya enggak itu," kata Agung.

Kuasa hukum warga Leuser yang lain, Yudi Rijali Muslim menilai PD. PAM Jaya juga tak kuat secara yuridis atas kepemilikan tanah seluas 2084 meter persegi tersebut. Dengan begitu, dia menuntut pihak BPN Jakarta Selatan untuk membatalkan SHGB yang telah diterbitkan kepada PAM Jaya.

Lebih jauh Yudi merujuk kepada Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal tersebut menegaskan:

Ayat (1): "Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui, jika memenuhi syarat: a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19".

Ayat (2): "Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.

Ayat (3): "Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan."

Yudi menilai, PAM Jaya tidak menggunakan hak atas tanah itu sesuai dengan ketentuan Pasal 26. Justru masyarakat yang menguasai dan memelihara tanah tersebut dengan membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB).

"PDAM dari mulai terbitnya SHGB pertama tahun 1991 sampai perpanjangan pada 2012 tidak mempergunakan tanahnya sebagaimana permohonannya diawal. Artinya kita ingin membatalkan SHGB 2012 nomor 1621. Dan dirawat oleh masyarakat dan membayar PBB," katanya Yudi.

TETAP OBJEKTIF - Sementara itu, kuasa hukum Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan Lalu Makbul menyatakan, BPN sebagai institusi negara tak tebang pilih soal penerbitan sertifikat. BPN tetap objektif sesuai dengan dasar yuridis yang paling kuat untuk diterbitkan.

"Penerbitan sertifikat berdasarkan permohonan. Ada masyarakat yang bawa, kita lihat data yuridisnya lalu kita teliti dan telaah lalu kita bandingkan dengan data fisiknya siapa yang menguasai," kata Makbul di PTUN Jakarta.

Namun, sejauh ini BPN menilai, tanah yang disengketakan itu memang secara hukum milik PDAM. Menurut Makbul, sesuai dengan dasar yang diajukan pihak PDAM, tanah itu masuk ke dalam aset PDAM sehingga BPN berani mengeluarkan sertifikat SHGB kepada PDAM.

Meski begitu, Makbul menanggapi biasa soal gugatan terhadap BPN. Dia menyerahkan semuanya pada putusan hakim untuk menilai siapakah yang berhak memiliki tanah tersebut.

"Menurut BPN tetap atas nama PDAM. BPN kan institusi negara yang membidangi pertanahan. Kalau ada salah silahkan gugat. Dasarnya ada. Kan daftar aset (PDAM) nanti akan dibukti saat pembuktian," ujarnya.

Karena menurut Makbul, BPN pada prinsipnya siap melayani gugatan warga. Bahkan dia memastikan, keberpihakan BPN adalah pada pihak yang paling kuat secara yuridis yang memiliki tanah tersebut.

"Tidak mungkin BPN menerbitkan sertifikat sertamerta karena ini institusi pemerintah. Kita tidak memihak ke kiri dan ke kanan. Jika ini dinyatakan tidak sah, kan majelis yang memutuskan," pungkas Makbul.

BACA JUGA: