JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) menduduki posisi teratas sebagai undang-undang yang paling sering digugat (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Areif Hidayat saat menyampaikan kinerja sepanjang tahun 2015.

Menurut Arief, sepanjang tahun 2015 pihaknya telah menangani sekitar 76 UU yang masuk dalam judicial review. Dari ke-76 UU itu, lanjut Arief, UU Pilkada menduduki peringkat pertama telah digugat sebanyak 31 kali sepanjang tahun 2015. "UU Pilkada memiliki frekuensi pengujian cukup tinggi yaitu sebanyak 31 kali," kata Arief di Gedung MK, Rabu (30/12).

Undang-undang yang menduduki peringkat kedua terbanyak digugat adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHP) sebanyak 12 kali. Peringkat ketiga diduduki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) yang diuji sebanyak enam kali sepanjang tahun 2015.

Sayangnya, Arief tidak merinci secara detail perihal 31 perkara uji materi UU Pilkada yang telah ditanganinya sepanjang tahun ini. Hanya saja, ia memaparkan, salah satu perkara yang dianggap paling fenomenal terkait uji materi UU Pilkada antara lain adalah MK telah menyatakan daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah dapat mengikuti pelaksanaan Pilkada.

Ia menambahkan, gugatan UU Pilkada lainnya adalah putusan nomor 60/PUU-XIII/2015. Dalam perkara itu MK telah memutuskan bahwa basis perhitungan untuk menentukan persentase dukungan bagi calon kepala daerah harus menggunakan jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih. Angka ini direpresentasikan dalam Daftar Calon Pemilih Tetap (DPT) di masing-masing daerah yang bersangkutan.

Terkait banyaknya gugatan atas UU Pilkada di MK, Direktur Eksekutif Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan hal itu membuktikan UU Pilkada memiliki banyak kelemahan. "Iya sangat banyak kelemahan dan terbukti dengan banyaknya permohonan ke MK atas UU tersebut," kata Ridwan kepada gresnews.com, Kamis (31/12).

Lebih jauh ia mengatakan, UU Pilkada sudah sangat layak untuk segera di revisi. Ridwan berharap semester pertama tahun 2016, revisi UU Pilkada itu sudah harus bisa diselesaikan. Hal itu dinilai penting sebagai dasar pertimbangan pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017 mendatang yang diperkirakan tahapannya sudah akan dimulai sekitar pertengahan tahun 2016 nanti.

Jika mengacu pada Pilkada serentak 9 Desember lalu, kata Ridwan, MK juga tercatat telah menerima sekitar 147 permohonan sengketa pilkada dari 132 daerah. Menurutnya, dari total 147 sengketa pilkada yang sudah masuk ke MK mayoritas akan gugur di tengah jalan karena terhadang Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur tentang batas maksimal dua persen selisih perolehan suara.

"Pasal 158 UU Pilkada terkait batasan bagi para pasangan calon yang kalah dalam kontestasi pilkada 2015 ini kan juga dijadikan landasan hukum bagi MK dalam verifikasi gugatan pasangan calon nantinya. Menurut saya batas selisih suara dalam Pasal 158 ini salah satu yang harus di revisi. Karena ini akan menjadi momok yang akan memakan korban nantinya," jelasnya.

MEKANISME PENYELESAIAN PILKADA LEMAH - Anggota Carateker Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert Jojo Rohi mengatakan salah satu kelemahan UU Pilkada saat ini adalah tidak diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa pilkada.

Ia menilai, peraturan yang ditetapkan oleh undang-undang saat ini kurang efektif. Akibatnya banyak pasangan calon malah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) terkait keputusan dalam proses pilkada.

Misalnya gugatan atas penganuliran salah satu pasangan calon peserta pilkada. Dalam kasus seperti di Fakfak dan Kalimantan Tengah, keputusan KPUD bisa dibatalkan PTUN. Putusan ini kemudian dibatalkan lagi oeh MA yang memenangkan pihak KPUD.

Hal ini menurut Jojo sangat memakan waktu dan tergolong tidak efektif. karena itu, ia berharap dalam revisi UU Pilkada akan datang, pemerintah dan DPR dapat merumuskan lembaga peradilan yang khusus menangani perkara sengketa Pilkada.

"Saya pikir pengadilan khusus menangani sengketa pilkada itu sangat penting ya, agar semua bisa terpusat di lembaga khusus itu dan bisa lebih efektif dan tidak tumpang tindih seperti sekarang ini," ujarnya.

Seperti diketahui, kasus di Fakfak dan Kalteng sampai membuat pilkada di kedua wilayah itu harus ditunda pelaksanaannya. Di Fakfak, pasangan calon bupati Fakfak, Papua Barat, menggugat putusan KPUD yang membatalkan keikutsertaan mereka ke PTUN Makassar.

Sementara di Kalteng, pasangan Ujang Iskandar-Jawawi juga melakukan tindakan serupa. Ujang-Jawawi menggugat ke PTUN Jakarta. Kedua pasangan itu dimenangkan oleh PTUN di detik akhir menjelang pilkada serentak sehingga akhirnya pilkada di kedua daerah itu dan tiga daerah lainnya ditunda.

Dianulirnya kedua pasangan itu oleh KPUD adalah karena tidak memenuhi electoral threshold sesuai Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan dukungan partai politik paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah bersangkutan.

Meski begitu kedua pasangan calon yang dianulir juga punya penafsiran tersendiri terkait pasal tersebut. Dengan demikian pasal terkait electroral threshold ini juga menjadi salah satu pasal yang krusial untuk dipertimbangkan untuk direvisi karena bisa terlalu membatasi jumlah calon.

POIN PENTING REVISI – Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo telah mengisyaratkan beberapa poin penting usulan pemerintah yang akan dimasukkan dalam revisi UU Pilkada tahun 2016 mendatang. Diantaranya adalah aturan calon tunggal yang saat ini masih mengacu pada putusan MK Nomor: 100/PUU-XIII/2015 dan anggaran kampanye.

Menurut Tjahjo, memasukkan poin diperbolehkannya calon tunggal untuk ikut serta dalam Pilkada ke dalam UU Pilkada adalah salah satu prioritas yang harus dilakukan. Ini dinilai penting guna menghindari potensi ‘pemborongan’ partai politik terhadap salah satu pasangan calon di suatu daerah.

"Mekanisme calon tunggal ini harus diperjelas di dalam UU Pilkada akan datang agar polemik calon boneka saat Pilkada dapat diselesaikan," kata Tjahjo Kumolo di Gedung Mendagri, Jakarta Pusat, Selasa (15/12) lalu.

Hal itu juga diamini oleh salah satu komisioner KPU Haddar Nafis Gumay. Dia mengatakan, memasukkan aturan calon tunggal ke dalam revisi UU Pilkada harus menjadi poin penting guna menjawab persoalan ditengah-tengah masyarakat yang mungkin akan terjadi di waktu mendatang.

Menurutnya putusan MK yang memperbolehkan calon tunggal untuk ikut serta dalam pelaksanaan Pilkada ini adalah sebuah putusan yang pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia. Karena itu, KPU selaku penyelenggara sekalipun masih belum memiliki penjelasan peraturan yang detail terkait dengan calon tunggal, harus melaksanakan amanat MK tersebut.

"Sebaiknya revisi UU Pilkada bisa selesai Maret 2016, karena persiapan kami setelahnya minimal tiga bulan untuk pilkada berikutnya tahun 2017," kata Hadar penuh harap saat ditemui di Gedung KPU, Jakarta Pusat, Rabu (30/12).

Ia menambahkan, KPU hingga saat ini tidak bisa membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait dengan peraturan calon tunggal tersebut. Alasannya, untuk membuat PKPU, KPU harus merujuk pada peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang. Sementara UU Pilkada Nomor 8 tahun 2015 belum mengatur tentang calon tunggal tersebut.

Selain soal calon tunggal, Mendagri Tjahjo Kumolo juga berencana memastikan anggaran kampanye pasangan calon dari APBN bisa masuk dalam revisi UU Pilkada akan datang. Menurut Tjahjo, anggaran kampanye pilkada yang diserahkan kepada pemerintah daerah (APBD) seperti halnya pilkada serentak 9 Desember lalu sangat memberatkan pemerintah daerah.

"Soal anggaran pilkada ke depan ada usulan dari APBN. Nanti ini juga akan dibahas dengan DPR bersama," kata mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan itu menegaskan.

Kemudian, poin lainnya yang tidak kalah penting, lanjut Tjahjo, revisi UU Pilkada yang akan dibahas awal tahun 2016 ini akan membahas tentang penguatan fungsi panitia penyelenggara pemilu seperti Bawaslu terkait dengan kewenangannya dalam memutuskan sengketa Pilkada.

Ia menilai, kewenangan Bawaslu saat ini kurang efektif dalam memutuskan perkara sengketa pilkada. Kewenangan Bawaslu dapat dicounter dengan putusan PTUN, dan PTUN bisa dicounter oleh MA. Poin penyelesaian sengketa pencalonan ini menurut Tjahjo juga diharapkan menjadi prioritas dalam revisi UUPilkada akan datang.

"Jadi tahapan pencalonan nantinya cukup Bawaslu atau MA saja, nanti ini harus dibahas. Kalau MA kan bisa lama prosesnya. Nah, poin ini akan diusulkan dalam revisi UU Pilkada tahun depan," ujarnya. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: