JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah pihak mengkhawatirkan arah pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menuju semangat kodifikasi tertutup. Kodifikasi tertutup sendiri berarti semua aturan tentang tindak pidana seperti korupsi, pencucian uang, narkotika dan terorisme ditempatkan dalam satu kitab UU bernama  KUHP.

"Semangat yang diusung oleh tim penyusun RUU KUHP dari pemerintah ini adalah untuk melakukan kodifikasi tertutup," ungkap anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani saat diskusi Dialektika Demokrasi di press room gedung Nusantara III, Selasa 15 September 2015.

Asrul memaparkan RUU KUHP yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015–2019 merupakan inisiatif DPR dan Pemerintah. Namun  draf RUU yang  dipakai sebagai bahan pembahasan adalah draf yang disusun oleh tim pemerintah yang diketuai oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo.   

Pembahasan itu, menurut Arsul, telah sampai pada tahap masing-masing fraksi di Komisi III DPR melakukan penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM). Salah satu masalah yang banyak disoroti yakni soal mazhab hukum pidana kita, apakah menganut sistem kodifikasi tertutup atau kodifikasi terbuka.

Jika menganut sistem kodifikasi terbuka, menurut Arsul, berarti ada UU yang tidak diatur dalam UU khusus dan inilah yang akan diatur dalam KUHP. Sehingga UU lex specialis yang ada seperti  UU Tipikor, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika dan UU Terorisme tetap berada di UU-nya masing-masing.

Namun, menurut Arsul, isi  RUU KUHP yang sekarang akan dibahas, semangat yang diusung oleh penyusun RUU KUHP adalah melakukan kodifikasi tertutup.

"Jadi ketentuan-ketentuan pidana yang ada di berbagai UU, baik UU tentang tindak pidana khusus di luar KUHP, seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, terorisme, itu semua mau ditaruh dijadikan satu dalam satu buku KUHP. Itu semangat yang dibawa oleh tim penyusun dari pemerintah," paparnya.

Arsul sendiri bersikap cenderung tetap membiarkan adanya kodifikasi terbuka seperti yang ada sekarang ini. Alasannya, kalau kemudian terjadi perkembangan yang cepat sehingga sebuah ketentuan pidana di dalam KUHP atau di dalam hukum pidana itu harus diamandemen. "Rasanya  lebih enak mengamandemen UU khusus ketimbang sering mengamandemen KUHP," kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Namun Arsul menjamin kalau pun nanti pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR condong dengan kodifikasi tertutup, itu tidak otomatis akan melemahkan KPK, sebagai lembaga penegak hukum yang juga saat ini memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan juga penuntutan di dalam perkara korupsi yang diatur dalam UU khusus.

"Tentunya kalau sistemnya kodifikasi tertutup, juga harus kita buat pasal-pasal pengaman yang tidak melemahkan. Apakah di ketentuan penutup atau pun ketentuan peralihan. Revisi UU yang menyangkut kelembagaan penegak hukum itu juga harus dipercepat. Untuk menegaskan, walaupun ada di KUHP, ketentuan tentang korupsi, tapi kewenangannya tidak berkurang," ujar Arsul.

Arsul memastikan belum ada kata final dari DPR terkait masalah kodifikasi ini. Saat ini proses pembahasan  RUU KUHP tersebut baru sampai tahap menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun oleh masing-masing fraksi di komisi III. "Fraksi-fraksi di Komisi III dalam menentukan sikap akan mengundang para akademisi dan juga kelompok2 masyarakat sipil," tandas Arsul.

KUHP JADI PAYUNG - Sementara itu mantan penasehat Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menginginkan agar UU KHUP itu menjadi payung dari sistem pemidanaan yang ada di Indonesia, karena itu maka ada hal-hal yang bersifat umum dan detail. Ada kodifikasi tertutup dan terbuka. Untuk itu Abdullah menyayangkan RUU ini jika lebih cenderung menginginkan kodifikasi tertutup.

Abdullah mencontohkan di UU No 31 Tahun 1999 tentang UU Tipikor dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12  menyebutkan perbuatan korupsi merujuk kepada KUHP. Tetapi ketika UU tersebut diamandemen menjadi UU No 20 Tahun 2001 pasal-pasal tersebut tidak lagi menyebutkan pasal di KUHP, tetapi langsung pada substansi perbuatanya itu. Lalu 13 pasal yang ada di KUHP itu dinyatakan tidak berlaku dan batal. Sedangkan di RUU KUHP yang akan dibahas saat ini 13 pasal itu dikembalikan muncul.

Persoalan yang timbul kemudian, bila kodifikasi tertutup. Bagaimana nasib lembaga penegak hukum yang diatur dalam UU yang bersifat khusus seperti KPK, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), BNN (Badan Narkotika Nasional), BNPT ( Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) setelah ada di KUHP.

"Dengan begitu, buntutnya bila UU sudah tidak ada, maka lembaganya otomatis dihapus. KUHAP yang baru merupakan operasionalisasi hukum acara dari KUHP yang kodifikasi yang tertutup ini. Maka ini ada opini melemahkan lembaga-lembaga tersebut termasuk KPK," ujar Abdullah.

Abdullah menyarankan KUHP seharusnya menjadi penguatan bukan pelemahan dari lembaga-lembaga tersebut.  Contohnya UU Tipikor menyebutkan 30 pasal perbuatan korupsi yang mengadopsi dari 13 pasal di KUHP itu yang kemudian ketika dirumpunkan ada tujuh rumpun tipikor. Pertama tindakan yang merugikan keuangan negara, suap, pemerasan, perbuatan curang, perbenturan kepentingan, gratifikasi.

Sehingga kalau mau dibuat kodifikasi tertutup atau terbuka maka poin tentang korupsi di RUU KUHP yang terdiri dari 13 pasal itu cukup satu pasal saja. "Perbuatan yang merugikan keuangan negara, suap, pemerasan, perbuatan curang, perbenturan kepentingan, gratifikasi diatur dalam UU khusus. Jadi satu pasal saja. UU ini merujuk kepada UU Tipikor dan UU KPK," jelas Abdullah.

Hal yang sama berlaku untuk masalah HAM, Terorisme, Narkoba, dan Pencucian uang. Jadi meskipun jika ada niat pemerintah mau membubarkan lembaga-lembaga ini ke depan, ini masih ada di KUHP. Lembaga-lambaga khusus yang bersifat khusus itu tidak dihilangkan karena KUHP telah memberikan perintah harus ditangani berdasarkan UU khusus, ujar Abdullah.

Oleh karena itu sejalan dengan Arsul Sani, Abdullah menginginkan agar RUU KUHP ke depan menganut Kodifikasi terbuka saja, supaya ketika terjadi percepatan perkembangan globalisasi maka kemudian bukan KUHP yang diamandemen tapi UU khususnya.

"Misalnya soal gratifikasi seks akan jadi tuntutan yang mendesak ke depan, maka tidak mungkin KUHP yang diamandemen tapi UU Khususnya. Itu lebih memudahkan tidak besar biaya, dan kekuatan UU seperti KUHP berjangka waktu panjang bisa dipertahankan," pungkas Abdullah.

KODIFIKASI PARSIAL BUKAN TOTAL - Pakar Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita juga mengemukakan hal senada, menurutnya, di Indonesia tidak mungkin, dalam istilahnya ada kodifikasi total. Kodifikasi yang ada adalah kodifikasi parsial. Sebab, bagaimana pun sesuai perkembangan masyarakat ke depan maka kodifikasi parsial menjadi lebih penting.

Apalagi menghadapi sistem perundangan-undangan di Indonesia maka lebih mudah menggunakan sistem kodifikasi parsial. Bukan kodifikasi total, yang bila suatu saat ingin  diubah-ubah sulit.

"Kalau ada perubahan UU di Singapura itu cukup ditempelkan saja melalui amandemen. Di kita kan tidak bisa begitu, mekanismenya panjang di DPR saja satu pasal bisa berbulan-bulan kalau di sana ditempel saja masuk selesai," ujar Romli. Ia menegaskan bila RUU KUHP ini yang ingin kembali ke kodifikasi total itu berarti menarik mundur ke belakang sejarah yang sudah jauh ke depan.

Romli menerangkan sejak tahun 1955,  sejak keluar UU Darurat No 3 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.  Indonesia sudah keluar dari kodifikasi total, sampai kemudian dalam perkembangannya lahir UU Khusus ada  yang mengatur soal terorisme, korupsi, pencucian uang, cyber, trafikking dan sebagainya.

"Kita tidak mungkin memasukan hal-hal yang khusus ke dalam satu kitab UU kodifikasi seperti ini. Kalau pencurian, pemerkosaan disamakan dengan pelanggaran yang sifatnya khas tadi jadi tidak mungkin. Jadi keluarkan semua (tindak pidana khusus) dan kembalikan ke tempatnya semula. Jangan diacak-acak lagi. Biarkan KUHP itu yang lama-lama saja tetap berjalan. Kita sudah terlanjur buat UU khusus. Sudah mengesahkan dan mendiskusikan panjang lebar UU khusus tiba-tiba masuk ke KUHP, ini sama saja seperti pekerjaan DPR keliru," ujar mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM tersebut.

RUU KUHP BELUM JELAS KONSEPNYA - Peneliti Indonesia Legal Round Table Erwin Natosmal Oemar juga mengaku tidak mengerti arah  tujuan RUU KUHP ini. Menurutnya ini bukan soal kodifikasi melainkan hanya sekedar kompilasi UU pidana saja.  Mengumpulkan semua tindak pidana dalam rancangan RUU KUHP yang baru.

"Belum jelas arah dan konsep apa yang ditawarkan dalam RUU KUHP ini. Saya sepakat harus ada perubahan mendasar dalam KUHP tetapi harus didasari dengan konsep yang kuat. Ini secara akedemis tidak kuat, yang ada hanya kompilasi delik hukum pidana dikumpulkan dalam satu buku lalu disebut dengan RUU KUHP itu ngawur," ujarnya kepada gresnews.com.

Menurut Erwin, kalau hal ini diteruskan dalam pembahasan maka akan bertabrakan dengan azas-azas hukum lain, seperti lex specialis. Erwin menyarankan agar jika ada reformasi KUHP, itu pun perubahan-perubahannya hanya di Buku I yang membahas tentang asas-asas hukum. "Biarkan saja. Delik-delik hukum yang lain berada di UU yang lain tidak usah dimasukan dalam satu kitab. Implikasinya terhadap lex spesialis ini yang belum bisa dijawab oleh pemerintah dan DPR," ujarnya

Menurut Erwin, kodifikasi di Indonesia  seharusnya seperti kodifikasi versi anglo saxon yaitu hanya kodifikasi pada prinsip hukum saja.  Supaya prinsip hukum yang ada disatukan tidak ada perbedaan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dan dasar-dasar hukum pidana. "Seperti prinsip hukum harus sesuai dengan jiwa kemerdekaan bukan prinsip kolonial. Itu yang harusnya dilakukan," terang Erwin.

Erwin sendiri masih pesimistis bila pembahasan RUU ini akan kelar dalam waktu cepat karena pembahasan di DPR rentan kepentingan politis. "Bila ingin diselesaikan dalam satu tahun saya tidak melihat ada kapasitas kognitif anggota dewan untuk menyelesaikan ini.

Perdebatan di awal saja cuma membahas hal-hal yang tidak subtansial. Harusnya RUU KUHP ini sangat akademik sekali. Kalau di DPR variabelnya sudah tidak akademik lagi tapi politis. "Itu yang membuat hukum pidana pembaharuannya menjadi kabur," tandas Erwin. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: