JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan kembali menggeber pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Pembahasan RUU ini berulangkali tersendat-sendat. Sejumlah pihak mendesak agar DPR memperkuat prinsip dasar terkait asas legalitas revisi UU ini.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Nasdem Akbar Faisal mengatakan pembahasan formal RUU KUHP baru akan dimulai kali ini. Setelah DPR kembali memasuki masa sidang. "Ini kan dari 500 pasal lebih menjadi 700 pasal lebih," ujar Akbar saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (22/8).

Ia menjelaskan RUU ini merupakan revisi "kitab suci" UU pidana yang akan terkodifikasi lebih lengkap. Terkait hambatan yang akan dihadapi ia menyebutkan akan ada penambahan sekitar 200 pasal. Diakuinya kodifikasi tersebut  tidak akan mudah. Sebab pembuat UU nantinya akan mensinkronisasikan kodifikasi tersebut.

Sementara itu pakar hukum pidana Unversitas Islam Indonesia Mudzakkir meminta agar dicermati lebih dulu poin apa yang harus direvisi dalam RUU KUHP. Sebab substansi yang akan ditambahkan ke dalam RUU KUHP sebenarnya berasal dari UU lain yang telah ada.

"Kalau saya lebih pada legal drafting-nya yang harus diperbaiki. Kalau content saya kira sudah clear,” ujar Mudzakkir saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (22/8).

Peneliti dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) Siti Aminah mengungkapkan metode pembahasan di DPR menggunakan daftar inventarisasi masalah (DIM), sehingga pembahasannya, menurut dia, lebih baik tidak menggunakan nomor DIM tapi per isu. Sehingga perlu disepakati hal-hal yang menyangkut substansi lebih dulu.

"Untuk redaksional tidak perlu anggota dewan. Sebab titik koma pun sampai dibahas, hal itu sebaiknya diserahkan saja pada ahli bahasa,” kata Aminah.

PASAL-PASAL FUNDAMENTAL REVISI KUHP - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan pasal yang bakal menjadi perdebatan akan banyak sekali. Ia mencontohkan dalam RUU KUHP ada pasal penghinaan terhadap presiden, penghinaan ITE, isu pornografi, dan pelacuran. Lalu pasal-pasal yang berkembang di UU khusus juga akan masuk ke dalam KUHP seperti pasal tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan narkotika.

"Jadi hampir di semua bab itu menimbulkan perdebatan yang keras," ujar Supriyadi saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (22/8).

Mudzakkir menuturkan pasal penghinaan terhadap presiden menjadi salah satu poin yang akan menjadi perdebatan dalam RUU KUHP. Menurutnya, menjadi tanda tanya besar, kenapa rakyat Indonesia tidak menghormati presidennya sendiri. Sebab di negara manapun, warga negaranya menghargai presidennya.

"Kalau di Indonesia presidennya justru tidak dihargai. Sementara kita wajib menghormati kepala negara sahabat. Menghina negara sahabat dipidana, tapi menghina presiden sendiri tidak dipidana," ujar Mudzakkir.

ASAS LEGALITAS DAN HUKUM ADAT - Supriyadi  menjelaskan dari sekian banyak pasal yang diperdebatkan, ia menyoroti salah satu pasal fundamental yang terdapat dalam buku I yaitu ketentuan umum. Menurutnya buku I merupakan substansi yang harus diperkuat dalam RUU KUHP.

Misalnya tentang tindak pidana koorporasi yang sudah direformasi di buku I. Lalu sanksi pidana yang sudah diubah soal pidana pokok dan pidana tambahan diubah dengan jenis tindakan. Sehingga sanksi pidana dibuat untuk mengurangi beban penjara atau pidana penjara menjadi pidana yang paling terakhir diberikan.

Selanjutnya, poin fundamental lainnya dalam buku I terkait penggunaan hukum adat. Dalam Pasal 2 tentang asas legalitas RUU KUHP disebutkan tindak pidana yang selama ini hidup di masyarakat yang tidak tercantum dalam KUHP, bisa dijadikan tindak pidana.

Persoalannya, tindak pidana adat yang hidup di dalam masyarakat masih belum jelas. Sebab tiap ulayat memiliki hukum masyarakat adat yang berbeda-beda. Hal ini menimbulkan pelanggaran pada asas legalitas. Sebab asas legalitas harus memastikan rumusan tindak pidana dan ketentuan tindak pidana harus jelas.

"Dengan memasukkan hukum adat di KUHP, justru mengacaukan asas legalitas," ujar Supriyadi.

Ia berpendapat semua jenis tindakan pidana sudah dimasukkan ke dalam KUHP. Sehingga ia mempertanyakan kenapa penggunaan hukum adat harus dimasukkan lagi ke dalam persoalan asas legalitas ini. Pembahasan ini akan menjadi poin krusial dalam pembahasan KUHP.

Aminah mengatakan asas legalitas memang masuk ke dalam pasal yang memunculkan perdebatan. Dalam Pasal 1 disebutkan seseorang bisa mendapat tindak pidana berdasarkan yang ditetapkan oleh UU. Dalam Pasal 2 RUU KUHP diatur bahwa dimungkinkan tindak pidana yang disangkakan berdasarkan hukum yang berlaku di masyarakat yaitu hukum adat.

"Kalau mengakui orang yang disangka dengan hukum yang hidup atau hukum adat, maka hukum adat yang mana? Sebab Indonesia kan beragam," ujar Aminah.

Ia menjelaskan tidak semua hukum adat tertulis. Sehingga hukum adat akan sangat bergantung pada pemuka adatnya. Mekanisme pengenaan hukum adat ini yang dipertanyakan apakah melalui pengadilan hukum adat atau pengadilan negeri. Kekhawatiran lainnya, hukum adat di Indonesia beragam sehingga tidak semua hukum adat egaliter.

Ia mengkhawatirkan terhadap  hukum adat yang bersifat hirarkis. Contohnya, kekerasan terhadap perempuan masuk ke dalam tindak pidana. Tapi dalam hukum adat hal tersebut bisa diselesaikan dengan denda. Sehingga perlindungan terhadap perempuan menjadi tidak ada.

"Walaupun disebutkan juga dalam Pasal 2 RUU KUHP, hukum adat yang dimaksud yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan asas kemanusiaan," tuturnya.

DOUBLE TRACK SYSTEM - Supriyadi menjelaskan dalam RUU KUHP terdapat model double track system yaitu di satu sisi terdapat pembagian pidana penjara dan pidana lainnya dan di sisi lain terdapat pidana tindakan. Dalam pidana tindakan, perumus ingin tidak semua terpidana dipenjara tapi dihukum dengan pengawasan dan pidana kerja sosial, serta denda.

"Dalam KUHP, tindakan ini hanya untuk orang yang tidak mampu bertanggungjawab. Misalnya disabilitas mental. Ini tidak ke penjara tapi direhabilitasi. Jadi ditambahkan jenis-jenis pidana yang tidak melulu penjara," ujar Supriyadi.

Melalui pidana tindakan ini, diperkirakan akan mampu mengurangi lembaga pemasyarakatan yang sudah kelebihan beban narapidana. Sebab yang terjadi saat ini antara UU KUHP dengan UU Narkotika tidak sinkron.

Misalnya dalam UU Narkotika terdapat ketentuan rehabilitasi pada penyalahgunaan narkotika. Ketentuan rehabilitasi ini tidak masuk dalam KUHP. Sehingga saat ini ia menduga sepertiga penghuni penjara adalah pengguna narkotika. Padahal seharusnya para pengguna ini direhabilitasi. Karena itu, substansi ini yang perlu dimasukkan dalam RUU KUHP.

Menurutnya, pidana tindakan tidak hanya untuk disabilitas mental tapi juga untuk korban penyalahgunaan narkotika. Sebab ketika ketentuan rehabilitasi atau pidana tindakan ini tidak dimasukkan ke dalam KUHP, beban penjara akan sama overload-nya dengan saat ini.

Mudzakkir juga berpendapat pengenaan sanksi hukuman merupakan pilihan hukum berdasarkan kasus per kasus. Ia mencontohkan dalam hal narkoba, bisa jadi ada pengguna yang juga memberikannya pada orang lain.

"Terhadap narkoba bukan harus tindakan alternatif. Tapi itu pilihan hukum, sanksi yang tepat yang mana," katanya.

Selanjutnya untuk tindak pidana ringan memang sah saja untuk dijatuhi pidana kerja sosial. Sehingga mengurangi beban penjara. Tapi bukan berarti nantinya semua dijatuhi hukuman serupa. Adapun pemenjaraan harus benar-benar digunakan sebagai tempat proses pembinaan.  

Aminah mengatakan pidana penjara sebenarnya tidak banyak ‘menyembuhkan’ orang. Tapi malah menjadi tempat ‘belajar berbuat jahat’. Sehingga sah saja ketika ada penjatuhan sanksi pidana di luar pidana penjara seperti pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.

"Pidana kerja sosial dulu sudah ada di UU Pengadilan Anak. Tapi tidak dilakukan. Misal ada orang mencuri sandal. Daripada dipenjara, akhirnya disuruh kerja sosial membersihkan masjid selama 4 hari. Saya dukung itu untuk tindak pidana yang ringan. Tapi implementasinya yang tidak dilakukan," tuturnya.

Menurutnya, ketika hakim memutuskan terpidana dijatuhi pidana kerja sosial, tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan dan eksekusi atas pidana kerja sosial ini. Sehingga kekurangan ini seharusnya bisa dilengkapi dalam RUU KUHP.

PEMIDANAAN KORPORASI - Supriyadi mengungkapkan  selama ini KUHP tidak mengenal tanggungjawab korporasi kecuali tindak pidana korupsi. Dalam RUU KUHP ini ia mendorong agar dapat dipidana tidak hanya manusia tapi juga koorporasi.

"Dalam rancangan KUHP sudah cukup di highlight bahwa korporasi dapat dikenai pidana," tutur Supriyadi.

Pidana untuk korporasi dianggap penting karena banyak tindak pidana yang digerakkan oleh korporasi. Tapi korporasi bersangkutan tidak terkena tindak pidana. Tapi yang terkena tindak pidana hanya aktor yang dikorbankan korporasi.

Dalam konteks ini, korporasi dianggap sama dengan manusia bahkan memiliki kekuatan yang lebih besar dari negara. Karena itu harus ada syarat-syarat khusus untuk menjerat korporasi. Sehingga dengan adanya aturan ini, korporasi-korporasi nakal bisa dipidana.

Misalnya koorporasi yang membabat hutan secara ilegal. Selama ini hanya aktor di dalam korporasi yang dijerat pidana. Ketika korporasi dijerat pidana, maka korporasi bersangkutan bisa ditutup atau disita asetnya.

BACA JUGA: