JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perjuangan Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, untuk mempertahankan dan menyelamatkan ruang hidup mereka, akan ditentukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur pada Selasa 14 Juli 2015 mendatang. Setelah hampir delapan bulan berproses sidang, PTUN Jakarta Timur akan membacakan putusan gugatan warga Pulau Bangka atas SK Menteri ESDM No. 3109 K/30/2014 yang memberikan IUP Operasi Produksi kepada tambang bijih besi PT Mikgro Metal Perdana (MMP) di Pulau Bangka.

Perjuangan panjang Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, dalam menolak keberadaan tambang di pulau mereka bukanlah tanpa alasan. Pulau kecil dengan luas 3.319 hektare tersebut seharusnya terlarang untuk kegiatan tambang. Pertambangan di pulau kecil tersebut dipastikan akan merusak ekosistem yang ada di Pulau Bangka dan perairan sekitarnya. Apa lagi PT MMP telah mengantongi izin untuk mengkapling 2.000 Ha, lebih dari setengah luas Pulau Bangka.

Padahal sudah jelas diatur dalam UU No. 1 tahun 2014 (perubahan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), bahwa pulau kecil diprioritaskan untuk kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, peternakan dan pertahanan dan keamanan Negara.

Selain itu, dari pihak Kementerian ESDM sendiri sebenarnya sudah ada surat yang meminta PT MMP menunda proyek pertambangan itu. Surat tertanggal 3 Oktober 2014 itu ditandatangani Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara R Sukhyar, dan ditujukan kepada Direksi PT MMP.

Isi surat itu sendiri memuat lima poin. Pada poin pertama, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral, Pasal 134 Ayat (2) menyatakan, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang.

Sementara pada poin keempat, PT MMP diminta untuk tidak melakukan kegiatan penambangan dan konstruksi sampai diterbitkannya aturan tentang rencana zonasi dan wilayah pesisir. Ditegaskan, sejak dikeluarkan putusan MA No 291 k/TUN/2013 pada 24 September 2013 dan pembekuan IUP Operasi oleh Menteri ESDM sebagaimana surat Dirjen Minerba Kementerian ESDM No 1737/30/DJB/2014 pada 3 Oktober 2014, sudah jelas PT MMP ilegal. “Ini harus dipatuhi. Tapi, sampai sekarang masih saja beroperasi,” ujarnya.

Selain surat dari ESDM, ada juga surat dari Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tertanggal 24 Oktober 2014. Surat yang ditujukan kepada Bupati Minahasa Utara (Minut) itu, menyatakan KKP belum memberikan izin kepada PT MMP untuk pemanfaatan Pulau Bangka.

"Peraturan Nomor 20 tahun 2008 tentang pemanfaatan pulau kecil telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), maka Menteri Kelautan dan Perikanan tak dapat menerbitkan izin," ungkap Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dr Sudirman Saad MHum dalam surat tersebut.

Tidak sampai situ saja perhatian KKP. Menteri KKP Susi Pudjiastuti, bahkan menyurati Menteri ESDM. Lewat suratnya tertanggal 12 Desember 2014, Susi tegaskan izin MMP tak memenuhi syarat. Susi minta Kementerian ESDM menghentikan sementara kegiatan pertambangan MMP. "Mohon kiranya dapat dipertimbangkan untuk dihentikan sampai dipenuhinya semua syarat," pinta Susi ketika itu.

PENGABAIAN FAKTA HUKUM - Terlepas dari berbagai surat yan dikeluarkan beberapa kementerian termasuk Kementerian ESDM sendiri, IUP terhadap PT MMP itu anehnya tak pernah dicabut. Kementerian ESDM sebagai pemberi IUP Operasi Produksi dinilai sangat jelas telah mengabaikan fakta hukum yang ada.

Putusan Mahkamah Agung No. 291/K/TUN/2013 pada 24 September 2013 jelas mengamanatkan pada Bupati Minahasa Utara, Sompie Singal, untuk mencabut IUP eksplorasi PT MMP. Bahkan upaya hukum yang dilakukan Bupati Sompie Singal untuk mempertahankan keberadaan PT MMP di Pulau Bangka sudah ditolak MA. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Bupati Sompie Singal ditolak oleh MA dengan putusan No. 127/PK/TUN/2014 pada 4 Maret 2015.

Yang mengherankan, meski sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 17 Juni 2014 malah menerbitkan SK yang meningkatkan status IUP eksplorasi PT MMP menjadi IUP Operasi Produksi.

Karena itulah warga Pulau Bangka pun menggugat Kepmen ESDM tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur pada 21 Oktober 2014. "Peningkatan status IUP Eksplorasi PT MMP menjadi IUP Operasi Produksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM jelas adalah perbuatan melawan putusan MA No. 291/K/TUN/2013 yang telah berkekuatan hukum tetap," kata Ki Bagus Hadikusuma dari Jaringan Advokasi Tambang dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (13/7).

Kasus pertambangan bijih besi di Pulau Bangka bahkan juga disorot oleh Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi melalui Kementerian Sekretariat Negara, pada 13 April 2015 mengirimkan surat No. B-110/Kemensetneg/D-4/Hkm/HK.04.02/04/2015 kepada Kementerian Dalam Negeri dan memerintahkan untuk segera menangani permasalahan terkait pembangkangan Bupati Sompie Singal terhadap putusan MA 291/K/TUN/2013 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Toh, rekomendasi dari presiden pun sepertinya tak mempan menghentikan operasi PT MMP. Bagus mengatakan, PT MMP merupakan perusahan tambang konsorsium dari China, bernama Empire Resources Ltd. Perusahaan itu diberikan izin menambang di wilayah Pulau Bangka pada tahun 2010 silam. Namun PT MMP mendapatkan izin eksplorasi kurang lebih 40.000 kilo ton biji besi dari tahun 2011 sampai dengan 2013 dari Bupati Minahasa Utara Sompie Singal.

Izin ini telah menimbulkan gesekan dengan penduduk setempat, dimana izin yang diberikan ternyata mencakup wilayah Pulau Bangka dan akan menggusur tiga desa yaitu, Desa Lihunu, Libas dan desa Kahuku. "Hubungan antara masyrakat dengan masyarakat menjadi rusak karena adanya pertambangan di Pulau Bangka, juga hilangnya hak asasi terhadap manusia," tegas Bagus.

Gesekan antara warga terjadi ketika PT MMP berniat membeli tanah warga. Sebagian besar warga Kahuku menyatakan setuju menjual tanah mereka. Sementara, pihak Lihunu menolak. Secara persentase, yang mendominasi adalah mereka yang tidak setuju pulau ini dijadikan penambangan. "Masyarakat sudah sejahtera dari pertanian dan potensi alam yang ada," kata Bagus.

Apalagi, berdasarkan Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Minahasa Utara terhadap Pulau Bangka adalah pariwisata. Dan ketika Pemkab lebih mengutamakan pendapatan daerah dan investasi tambang ketimbang keberlangsungan hidup rakyat, dari sinilah muncul konflik.

PERTAMBANGAN HARUS DIHENTIKAN - Berdasarkan keterangan tiga saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak penggugat, jelas dapat disimpulkan bahwa sudah seharusnya pertambangan di Pulau Bangka dihentikan. Saksi ahli pertama, Cipto Aji Gunawan, ahli dan praktisi wisata bahari, menyatakan bahwa sepanjang pengalamannya bergelut dengan dunia pariwisata selama 23 tahun, tidak pernah menemukan praktik pertambangan yang berdampingan dan sejalan dengan ekowisata.

"Karena tambang itu sifatnya membongkar, merusak bentang alam. Sedangkan Ekowisata jelas memnfaatkan keutuhan panorama keindahan alam tanpa merusaknya," ungkapnya dalam persidangan terdahulu.

Saksi Ahli kedua, Veronika Kumurur, salah satu pengkaji Amdal PT MMP mengungkapkan, dirinya tidak mendapatkan info apapun terkait mulai beroperasinya PT MMP di Pulau Bangka. "Karena kami masuk sebagai Tim Analisa, kami meminta kepada pemrakarsa agar kami selalu mendapatkan informasi terbaru. Namun permintaan kami tidak pernah direspons," katanya.

Veronika Kumurur juga menambahkan bahwa AMDAL PT MMP tidak memiliki Detail Engineering Design yang seharusnya wajib tercantum dalam AMDAL. Bahkan, menurutnya, AMDAL tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena menggabungkan sekaligus beberapa kegiatan wajib AMDAL dalam satu dokumen AMDAL, seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, relokasi warga, kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik baja.

Saksi Ahli terakhir yakni Ester Simon, Ahli Amdal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam kesaksiannya menyatakan bahwa ketika masyarakat di suatu wilayah kepulauan sudah terbangun ekonomi dan kesejahteraannya, maka sektor pertambangan tidak perlu dipaksakan masuk dengan iming-iming kesejahteraan.

Sedangkan Saksi Ahli yang diajukan oleh PT MMP, yakni Prof. Yani Kusen, ternyata malah belum mengantongi Sertifikat AMDAL dari Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga kesaksiannya sebagai saksi ahli masih diragukan.

Departemen Advokasi Walhi Edo Rahman mengatakan, keputusan majelis hakim, yang akan dibacakan pada Selasa 14 Juli 2015 besok, sudah seharusnya berlandaskan pada fakta hukum dan kesaksian para saksi ahli di atas. "Majelis hakim harus menetapkan putusan berdasarkan pokok-pokok gugatan yang diperkarakan dan tidak keluar dari konteks gugatannya," kata Edo.

Putusan majelis hakim dalam menetapkan perkara Pulau Bangka, kata dia, akan menjadi preseden bagi upaya-upaya penyelamatan ruang hidup masyarakat di wilayah lain. "Jika pengabaian fakta-fakta hukum yang dilakukan oleh Kementerian ESDM ini tidak dihentikan, maka ke depan pulau-pulau kecil di Indonesia dengan mudahnya dapat ditambang, perizinan tambang akan semakin diobral tanpa menghormati supremasi hukum yang sudah ada," pungkas Edo.

BACA JUGA: