JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para petambak udang mandiri eks Dipasena di Rawajitu Timur Lampung tak putus harapan untuk terus mencari keadilan setelah pengajuan kasasi mereka atas gugatan yang dilayangkan PT Centra Proteina Prima (CP Prima) kepada 385 orang petambak ditolak Mahkamah Agung. Hari Selasa (16/6) kemarin, puluhan petambak yang diwakili pemerintahan kampung dan tokoh masyarakat mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada KPK para petambak melaporkan dugaan korupsi senilai Rp19,5 triliun dalam penjualan aset eks Dipasena oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada tahun 2007.

PT PPA ketika itu menjual aset eks Dipasena kepada perusahaan asal Thailand Charoen Pokphand lewat anak usahnya PT Centra Proteina Prima dengan harga "murah" yaitu hanya senilai Rp448 miliar dari total nilai aset senilai Rp19,5 triliun. Penjualan itu sendiri dilakukan melalui konsorsium Neptune sebagai pemenang tender "jual putus" aset milik negara tersebut.

Humas Persatuan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena Arie Suharso mengatakan, selain melaporkan masalah dugaan korupsi penjualan aset Dipasena senilai Rp19,5 triliun, para petambak juga melaporkan dugaan praktik penyimpangan/penggelapan pengelolaan dana APBN subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap lebih dari 3000 orang petambak Dipasena pada periode tahun 2009-2010 yang disalurkan melalui PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan PT Bank Negara Indonesia (BNI).

"Untuk kasus ini ada potensi merugikan negara hingga ratusan miliar," kata Arie Suharso, dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa (16/6) malam,
 
Pada kesempatan yang sama, Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Marthin Hadiwinata menjelaskan kronologis kasus dugaan korupsi penjualan aset Dipasena senilai Rp19,5 triliun itu. "Pertambakan Bumi Dipasena yang merupakan pertambakan terbesar di Asia Tenggara menjadi salah satu aset yang diserahkan oleh obligor kelas kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim," kata Marthin.

Saat itu Sjamsul Nursalim memiliki utang pada negara sebesar Rp28,408 triliun. Berdasarkan laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham pada tahun 2006, Sjamsul Nursalim sudah menyerahkan tiga perusahaan induk senilai Rp28,495 triliun.

Perusahaan itu terdiri dari GT Petrochem Group dan GT Tire Group senilai Rp7,533 triliun, PT Dipasena Group senilai Rp19,961 triliun dan bagian setoran PS yang diperhitungkan sebagai pembayaran tunai Rp1 triliun senilai Rp999,99 miliar. Untuk aset Dipasena grup sendiri, aset yang diserahkan Nursalim kepada BPPN meliputi 6 perusahaan, yaitu: PT Dipasena Citra Darmaja, PT Mesuji Pratama Lines, PT Bestari Indoprima, PT Biru Laut Katulistiwa, PT Triwindu Graha Manunggal, dan PT Wahyuni Mandira.

Besarnya potensi yang dimiliki oleh pertambakan Dipasena, sempat menarik hati pemerintah dan digadang untuk dijadikan sebagai Badan Usaha Milik Negara. "Namun karena besarnya pembiayaan dan krisis moneter melanda negeri ini kala itu, akhirnya menteri keuangan memberikan arahan kepada PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) yang menggantikan peran BPPN, untuk mencari pembiayaan revitalisasi bagi pertambakan bumi dipasena di luar APBN," urai Marthin.

Pada mulanya, PT Recapital Advisor (RCA) terpilih sebagai kreditur baru untuk Dipasena. Sebagai pemenang tender, RCA berkewajiban mengucurkan dana sebesar Rp1,5 triliun untuk pembiayaan revitalisasi pertambakan ex Dipasena. Namun keinginan RCA untuk mengkonversikan dana talangan menjadi 51 persen saham ex Dipasena harus kandas karena ketidakmampuan mereka menunjukkan dana talangan hingga tenggat waktu yang ditentukan oleh PT PPA.

Gagalnya RCA mengakuisisi aset ex Dipasena Grup pada awal Maret 2007 menjadi awal bencana para petambak. Program pengamanan revitalisasi aset eks dipasena dengan upaya pencarian kreditur pun berubah menjadi "Penjualan Aset Kredit dan Saham Group Dipasena Dengan Pengamanan Revitalisasi" alias menjual aset Dipasena kepada investor. Akhirnya, tender penjualan ini dimenangkan oleh perusahaan asal Thailand, Charoen Pokphand (CP Prima) melalui konsorsium Neptune sebagai pemenang tender "jual putus" aset milik negara tersebut.

Aset Kredit dan Saham Group Dipasena yang bernilai awal Rp19,961 triliun dijual kepada Konsorsium Neptune (CP Prima) hanya dengan harga U$53,5 juta setara Rp448 milliar dengan syarat CP Prima melakukan revitalisasi total aset ex Dipasena, termasuk areal tambak milik plasma. Setelah memiliki aset Dipasena Group, perusahaan asal Thailand ini mengubah nama PT Dipasena Citra Darmaja  menjadi PT Aruna Wijaya Sakti.

Akan tetapi sayangnya perusahaan ini tidak juga menyelesaikan kewajibannya menjalankan amanah revitalisasi  dan justru malah membuat perseteruan dengan petambak sebagai mitra usahanya. Dari kasus ini, negara pun telah dirugikan triliunan rupiah, selain itu rakyat dan penduduk di Bumi Dipasena tetap menderita karena tidak berjalannya program revitalisasi.

Terkait itulah kemudian menurut Arie Suharso yang mewakili para petambak, kepada KPK, mereka juga menyampaikan laporan kerugian yang dialami petambak terkait praktik penyimpangan/penggelapan pengelolaan dana APBN subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap lebih dari 3000 orang petambak Dipasena pada periode tahun 2009-2010 yang disalurkan melalui BRI dan BNI. Dia mengatakan, selama melakukan kerja sama dengan CP Prima, sekitar 3000 orang petambak telah melakukan akad kredit untuk biaya investasi dan modal kerja yang hingga hari ini sebagian besar dari mereka belum juga merasakan dana akad kredit tersebut untuk biaya usaha budidaya.

Kredit tersebut disalurkan melalui Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada sepanjang 2009-2010. Semua pencairan kredit di dalam perjanjiannya, akan dikelola oleh perusahaan sebagai avalis. Akan tetapi praktiknya di lapangan, tidak semua kredit tersebut diberikan kepada petambak. Bahkan proses penandatanganan akad kredit pun dilakukan dengan penuh intimidasi dari perusahaan.

Proses administrasi yang menjadi hak nasabah/debitur juga tidak pernah dipenuhi dan dilaporkan kepada petambak oleh perusahaan dan perbankan, diantaranya yaitu laporan penggunaan uang dan informasi mengenai sisa saldo utang petambak. Yang lebih parah, penyaluran kredit tersebut juga tidak sesuai dengan perjanjian.

"Dimana sebagian besar petambak hingga saat ini sama sekali tidak menerima kredit sebagaimana yang telah diperjanjikan. Atau dalam kasus yang lain, penyaluran kredit investasi yang tidak sesuai dengan nilai kredit yang telah ditandatangani oleh petambak," urai Arie.

Di tengah-tengah itu, pasca konflik yang berkepanjangan sejak tahun 2011, perusahaan menggugat 385 petambak atas tuduhan tindakan wanprestasi dan mewajibkan para petambak tersebut membayar sisa saldo utang kepada perusahaan.

"Merespons masalah ini, berulang kali petambak mengirim surat dan mendatangi langsung pihak BRI dan BNI untuk menanyakan informasi mengenai hutang, akan tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memadai. Bahkan pihak BRI sama sekali menutupi informasi mengenai hutang petambak saat ini," pungkas Arie.

BACA JUGA: