JAKARTA, GRESNEWS.COM - Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Itulah permisalan yang tepat untuk menggambarkan nasib para petambak mandiri eks Dipasena, Rawajitu Timur, Lampung saat ini. Sudah kerepotan menghadapi turunya harga udang dan serangan wabah White Feses Desease (WFD), kini mereka terancam kehilangan lahan dan mata pencaharian mereka sebagai petambak udang.

Pasalnya upaya kasasi yang mereka ajukan atas gugatan yang dilayangkan pihak CP Prima--anak usaha perusahaan multinasional Charoen Phokphand-- atas kontrak kerjasama revitalisasi tambak Dipasena, ditolak Mahkamah Agung. Para petambak eks Dipasena pun meradang dan menuding MA telah berpihak kepada pihak Charoen Phokphand yang melakukan tuntutan yang mengada-ada dan tidak semestinya.

"Perusahaan itu justru sudah lama melakukan praktik eksploitasi kepada para petambak," kata salah seorang petambak eks Dipasena Arie Suharso, kepada Gresnews.com, Senin (15/6).

Arie yang juga bertindak selaku humas Persatuan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Lampung mengatakan, konflik antar petambak Bumi Dipasena dengan perusahaan multinasional Charoen Pokphand (induk usaha CP Prima) disebabkan gagalnya program revitalisasi pertambakan eks Dipasena pernah di mediasi oleh Komnas HAM. Namun hasil mediasi tersebut sama sekali tidak diindahkan oleh pihak CP Prima serta malah justru persoalan perselisihan yang ada antara petambak dan perusahaan asal Thailand tersebut berujung di meja hijau.

Di tingkat pengadilan negeri, gugatan CP Prima yang terkesan mengada-ada ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tulang Bawang, Lampung. Dalam gugatan tahap pertamanya CP Prima menyampaikan bahwa 400-an orang petambak telah melanggar perjanjian kerjasama, dan memiliki utang yang totalnya mencapai Rp26 miliar. "Saat proses persidangan di Pengadilan Negeri Menggala Tulang Bawang, seluruh keculasan pihak CPP terungkap dengan jelas," kata Arie.

Kecurangan-kecurangan itu adalah, pertama, CP Prima dinilai telah menyengsarakan ribuan rakyat Indonesia di bumi dipasena. Kedua, tidak menjalankan Amanah Revitalisasi aset ex Dipasena. Ketiga, tidak membayarkan Sisa Hasil Usaha milik petambak lebih dari Rp38 miliar.

Keempat, melanggar perjanjian kerja sama dan memperalat petambak untuk mendapatkan dana kredit dari bank. Kelima, memutus jaringan listrik. Keenam, menghancurkan infrastruktur dan merusak lingkungan di bumi dipasena.

Ditolaknya gugatan tahap pertama di tingkat Pengadilan Negeri Tulang Bawang, menurut Arie, ternyata tak menyurutkan ambisi CP Prima untuk merampas hak-hak hidup para petambak di Bumi Dipasena. Tak puas dengan putusan PN Tulang Bawang, CP Prima mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandar Lampung dan hasilnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Lampung mengabulkan gugatan CP Prima dengan menyatakan Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma adalah sah secara hukum.

PT Lampung juga menyatakan bahwa petambak telah melakukan wanprestasi dan Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma berakhir dan putus dengan segala konsekuensi dan akibat hukumnya. Majelis hakim telah menyatakan tergugat masing-masing dalam gugatan dibebani hutang total sebesar lebih dari Rp13 miliar (gugatan dengan nomor perkara: 20/Pdt/2013/PT.TK) dan Rp13,8 miliar (gugatan dengan nomor perkara: 21/Pdt/2013/PT.TK).

Putusan Pengadilan Tinggi yang membuat ribuan keluarga petambak tak percaya dengan hilangnya nurani hukum ini. Putusan ini pun memaksa mereka untuk tetap memperjuangkan hak-hak mereka yang salah satunya adalah dengan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.

"Dengan itikad baik, menunjukkan bahwa ribuan keluarga petambak di Bumi Dipasena adalah rakyat yang patuh pada hukum. Para petambak berharap majelis hakim di Mahkamah Agung dapat melihat lebih jelas permasalahan yang terjadi di Bumi Dipasena," ujar Arie.

Namun harapan untuk mendapatkan keadilan dan ketenangan usaha berbudidaya udang bagi ribuan keluarga petambak di pesisir timur Provinsi Lampung mulai pupus. Pasalnya dua hari yang lalu para petambak mendapatkan informasi melalui website kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa satu (No. Reg: 2506 K/PDT/2014) dari dua perkara Kasasi mereka telah dinyatakan ditolak.

Karena itulah puluhan perwakilan petambak Bumi Dipasena, berangkat menuju Jakarta. Wakil Ketua P3UW Lampung Thowilun mengatakan, tujuan mereka mendatangi Mahkamah Agung untuk menyampaikan agar Ketua Mahkamah Agung dan Majelis Hakim yang menangani kasasi rekan mereka lainnya (No. Reg:  2551 K/PDT/2014) dapat memutuskan persoalan ini dengan hati nurani dan rasa keadilan yang setinggi-tingginya.

"Para petambak berharap agar Mahkamah Agung dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi di Bumi Dipasena, menyaksikan langsung penderitaan ribuan rakyat di pesisir timur akibat keserakahan dan ketamakan CP Prima/PT Aruna Wijaya Sakti," kata Thowilun.

Selain itu, kata Thowilun, para petambak juga menyampaikan dokumen-dokumen dari berbagai intansi pemerintah lainnya yang juga menyatakan bahwa CP Prima/PT Aruna Wijaya Sakti telah gagal menjalankan amanah revitalisasi dan melakukan berbagai tindak kejahatan kemanusiaan dan perampasan hak-hak hidup rakyat di Bumi Dipasena.

Karena itulah, para petambak sejak pagi bergerak mengepung MA untuk menuntut keadilan. Selain di MA, para petambak juga berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka menuntut janji Menteri KKP Susi Pudjiastuti untuk membantu para petambak.

Thowilun mengatakan, para petambak kecewa karena Susi selama ini diam saja melihat ketidakadilan yang dialami para petambak udang eks Dipasena. "Menteri Susi Pudjiastuti juga tidak melakukan apa-apa untuk melindungi dan mensejahterakan petambak," ujarnya.

BACA JUGA: