JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rencana pemerintah membolehkan warga negara asing (WNA) memiliki properti di Indonesia dinilai akan menimbulkan banyak masalah. Diantaranya adalah, bisa mendongkrak harga properti sehingga masyarakat kelas menengah ke bawah akan kesulitan membeli rumah atau properti lain lantaran harganya yang tinggi.

Terdongkraknya harga properti juga akan mengakibatkan bisnis properti terpengaruh secara keseluruhan. Karena itu sebelum merealisasikan rencananya itu, pemerintah diminta untuk membuat sistem yang terintegrasi dan menjalankan hak kepemilikan rumah bagi rakyat.

Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Hanura Fauzi Amro mengatakan, dunia bisnis properti memang naik turun. Untuk kondisi saat ini, perekonomian Indonesia memang sedang lesu karena nilai tukar rupiah melemah, sehingga bisa jadi hal tersebut berpengaruh terhadap iklim dalam bisnis properti.

"Harga rupiah terhadap dolar AS sudah mencapai Rp13 ribu. Jadi ini kan ada pengaruh global," ujar Fauzi saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (30/6) kemarin.

Karena itu, Fauzi menilai, rencana pemerintah memberikan izin kepemilikan properti bagi warga asing tersebut juga harus dilihat efektivitasnya dalam konteks menumbuhkan gairah bisnis properti di Indonesia yang sedang lesu.

Ia mencontohkan saat ini Indonesia sudah bekerja sama dengan 65 negara untuk membebaskan visa dalam rangka menggaet turis asing. Tapi efektivitas dari kebijakan itu juga masih dipertanyakan dalam konteks menambah pendapatan bagi negara.

Selain risiko harga yang bisa membuat masyarakat kelas menengah ke bawah kesulitan memiliki rumah, ada juga risiko lain yang mengintai dari kebijakan ini. Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah dalam soal ini bisa mengalami risiko adanya pajak kepemilikan properti yang tidak dibayarkan warga negara asing.

Yustinus mengatakan, persoalan pajak properti sebenarnya berkaitan erat dengan penegakan hukum. Ketika ada aset properti sebenarnya bisa dilakukan pengawasan dan pengecekan serta pembuktian. Persoalannya penegakan hukum di Indonesia masih lemah ditambah integrasi data juga belum akurat.

"Saya sendiri tidak bisa menghitung perkiraan kerugian negara akibat WNA yang memiliki properti tidak membayar pajak. Tapi kalau diprediksi maka bisa sekitar Rp1 hingga Rp2 triliun," ujar Yustinus saat dihubungi Gresnews.com.

RISIKO LEGALISASI KEPEMILIKAN PROPERTI BAGI WARGA ASING - Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, usulan pemerintah itu seharusnya dilakukan terbatas hanya untuk menolong gairah bisnis properti di kelas atas. Persoalannya sejauh mana pertolongan bagi dunia bisnis properti tersebut akan menolong perekonomian Indonesia.

Dia menilai, bisnis properti seperti apartemen yang dibuka untuk WNA akan berada pada area premium, area bisnis, pemukiman elit, dan pulau-pulau wisata terbaik. Sehingga tanpa dibuat aturan bagi kepemilikan asing pun, area-area tersebut dianggap memang sudah memiliki pangsa pasar tersendiri.

Hanya saja, jika praktik ini kemudian dilegalisasikan dalam bentuk sebuah kebijakan, hal itu malah akan membawa dampak buruk. "Dampak negatifnya jauh lebih besar," ujar Iwan kepada Gresnews.com dalam kesempatan terpisah, Selasa (30/6).

Pertama, dengan masuknya pembeli asing, maka akan membuat harga apartemen menjadi naik tinggi. Menurutnya, naiknya harga properti kelas atas bisa jadi akan menarik inflasi yang lebih besar ke sektor lainnya.

Lalu dengan harga properti kelas atas yang naik, maka pemain properti kelas atas akan semakin banyak. Akibatnya bisnis properti menengah ke bawah semakin ditinggalkan. Apalagi investasi pemerintah untuk bisnis menengah ke bawah tidak banyak. Hal ini menurutnya akan mengerek harga properti semakin melambung tinggi. Sehingga yang kembali di rugikan adalah masyarakat menengah ke bawah.

"Kalau properti jelas atas naik dan peminatnya tinggi akan memaksa mereka menaikkan harga. Maka pemain kelas bawah menurun. Sementara permintaan propertinya naik. Akibatnya harga naik untuk properti kelas menengah bawah. Apa risikonya sudah dihitung pemerintah?" lanjutnya.

Dampak kedua, WNA yang membeli properti di Indonesia belum dipastikan akan menempatinya untuk sendiri. Bisa terbuka potensi mereka menyewakannya lagi. Padahal harapan pemerintah terhadap WNA yang tinggal di Indonesia adalah WNA tersebut bisa berbelanja dan membayar pajak di Indonesia.

Berbeda dengan negara seperti Singapura, Malaysia, dan Australia yang membuka bisnis properti untuk WNA. Mereka membuka pasar tersebut karena pemerintahnya sudah melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi rakyatnya. Lalu sejumlah negara tersebut juga sudah memetakan WNA yang akan membeli propertinya misalnya orang pensiun atau orangtua dari mahasiswa yang belajar disana.

POTENSI KREDIT MACET - Iwan juga menjelaskan ada risiko lain dari penerapan kebijakan ini yaitu meningkatnya potensi kredit macet. Dia mengatakan, kemampuan warga negara Indonesia dalam pembelian properti masih bisa diketahui dengan pengecekan terhadap akun bank.

Sementara, untuk pembelian properti oleh WNA, pemerintah Indonesia belum memiliki sistem untuk mengecek akun bank WNA. Dengan demikian akan sulit untuk mengetahui apakah benar WNA yang bersangkutan memang memiliki kemampuan beli yang tinggi. Sebab jika WNA yang membeli properti tidak memiliki daya beli yang tinggi maka bisa saja terjadi potensi kredit macet.

"Untuk warga negara Indonesia, pemerintah bisa mengecek akun bank orang yang bersangkutan. Sementara untuk WNA, apakah pemerintah sudah memiliki kerjasama dengan negara WNA bersangkutan untuk mengecek kemampuan beli tersebut? Seharusnya sebelum mengeluarkan kebijakan ini pemerintah sudah memperhatikan dampak tersebut," tegas Iwan.

Terkait risiko kredit macet ini, Yustinus Prastowo mengatakan, hal ini akan berkaitan erat dengan kesiapan institusi perbankan di Indonesia. Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan harus berintegrasi dengan dirjen pajak sehingga bisa mengantisipasi risiko kredit macet atas penjualan properti terhadap WNA.

"Tanpa restrukturisasi dan reformasi kelembagaan di sektor perbankan, kita akan kesulitan untuk melakukan pengawasan, itu yang dikhawatirkan," ujar Yustinus kepada Gresnews.com.

ANTISIPASI SPEKULAN - Yustinus menegaskan, izin kepemilikan properti bagi WNA perlu diatur seketat mungkin sehingga bisa bermanfaat bagi negara dan masyarakat luas. Dia mencontohkan negara yang pernah menerapkan kebijakan soal kepemilikan properti bagi WNA misalnya Amerika Serikat pada 2008. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk memberikan pemicu bagi pertumbuhan ekonominya.

Untuk menerapkan kebijakan tersebut di Indonesia, ia menilai Indonesia bisa belajar dari Amerika. Di Amerika, WNA yang membeli aset harus melakukan investasi atau diwajibkan memiliki usaha riil yang mempekerjakan warga negaranya sendiri. Praktik macam itu dinilai bisa dilakukan di Indonesia. Sehingga WNA yang ingin membeli properti di Indonesia harus memiliki usaha riil yang mempekerjakan orang Indonesia.

"Jadi ada multiplier effect. Karena kalau tidak diikat dengan hal tersebut maka kepemilikan properti oleh asing tidak akan menciptakan nilai tambah apapun. Ini di beberapa negara memang menjadi hal biasa sepanjang bagaimana kita bisa mengaturnya karena kita berkepentingan dengan investasinya," ujar Yustinus.  

a menambahkan aturan untuk mencegah spekulasi juga harus dibuat oleh negara misalnya dengan pajak progresif. Misalnya WNA yang membeli properti pertamanya dikenakan pajak 5 persen. Lalu untuk kepemilikan propertinya yang kedua, ketiga, dan seterusnya dikenakan pajak lebih besar lagi.

Selanjutnya untuk properti yang dijual sebelum tiga tahun masa kepemilikan, WNA bersangkutan harus membayar pajak tambahan. "Jadi kalau dispekulasi, negara mendapat revenue dan bisa menjadi subsidi bagi perumahan masyarakat menengah ke bawah," tuturnya.

SIKAP PENGUSAHA - Usulan agar pemerintah mengizinkan WNA memiliki properti di Indonesia sendiri diajukan oleh Real Estate Indonesia (REI). Alasan utama dibalik usulan tersebut adalah karena dalam praktiknya, jual beli properti kepada WNA sudah berlangsung lama secara ilegal. Padahal minat investor asing tersebut bisa digunakan secara maksimal untuk meningkatkan devisa negara. Sehingga ada baiknya minat investasi kepemilikan properti asing dilegalkan saja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menilai usulan untuk mengizinkan kepemilikan properti bagi asing bagus untuk memperluas pasar. Sehingga pasar properti tidak hanya terbatas diperuntukkan untuk domestik tapi juga WNA. Usulan ini dinilai juga tepat di tengah kondisi bisnis properti yang sedang menurun.

"Bisnis properti cenderung menurun karena dipicu pernyataan menteri keuangan atas pengenaan pajak penjualan atas barang mewah. Lalu pasar juga melemah dan dari segi daya belum juga turun," ujar Haryadi kepada Gresnews.com, Selasa (30/6).

Terkait berbagai kekhawatiran yang terjadi, khususnya soal pajak dan kredit macet, Haryadi mengatakan, antisipasi terhadap potensi kredit macet bisa diatur melalui regulasi. Misalnya pembayarannya bisa dilakukan dalam bentuk tunai. Cara lainnya bisa dengan kredit melalui bank dari WNA bersangkutan. "Caranya bisa bermacama-macam," ujarnya.

Terkait harga, Haryadi menilai, persoalan harga kepemilikan properti memang ruwet lantaran bisa memicu kenaikan keseluruhan harga properti lainnya. Namun hal itu, kata dia, tak perlu terlalu dikhawatirkan karena segmennya berbeda.

Sementara itu, pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan Roni Bako menyatakan persetujuannya dengan wacana kepemilikan properti oleh WNA. Alasannya, WNA pastinya memiliki kemampuan beli untuk properti lantaran dalam konteks saat ini harga dolar terhadap rupiah sedang tinggi.

"Ketika WNA bisa beli properti maka pasti pajak akan mengikuti. Itu pasti akan tingkatkan pajak bagi negara kita. Tapi memang harus dibatasi dalam luas tertentu. Jadi jangan sampai tanpa batasan," ujar Roni kepada Gresnews.com.

BACA JUGA: