JAYAPURA, GRESNEWS.COM - Matahari yang bersinar cerah pagi itu, adalah sesuatu yang sangat ditunggu oleh Salmon Sanggrabano (54) seorang petani kakao (coklat) dari kampung Hamonggrang, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Cuaca yang cerah adalah saat yang sangat baik baginya untuk mengeringkan biji kakao hasil panen dari kebunnya.

Salmon yang ditemui Gresnews.com, Kamis (28/1) lalu dengan bangga kemudian menunjukkan biji kakao kering produksinya yang sudah siap dijual. "Kami menanam kakao sejak zaman orang tua kami dulu dari tanaman peninggalan perkebunan Belanda," ujarnya.

Dia bersama kedua adiknya, Alfonsina Sanggrabano (43) dan Tidores Sanggrabano (45) membudidayakan kakao di lahan milik keluarga seluas 6 hektare. Kakao saat ini memang menjadi komoditas yang sangat diandalkan oleh petani untuk dijadikan lahan penghidupan bagi mereka. Wilayah Desa Hamonggrang bersama wilayah Desa Kwansu di Distrik Kemtuk, menjadi lahan percontohan bagi perkebunan kakao di Kabupaten Jayapura.

Bekerjasama dengan Oxfam--lembaga bantuan internasional yang mendukung gerakan kesejahteraan petani kecil--pemerintah setempat melalui Dinas Pertanian, melaksanakan berbagai program pelatihan dan pendampingan serta bantuan alat-alat pertanian bagi para petani di kedua desa itu. Dalam Program Kewirausahaan di Papua Oxfam memang mendorong upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil. Oxfam sendiri bekerja di hampir 100 negara di dunia bekerjasama dengan pemerintah setempat berupaya menghapuskan kemiskinan.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura Adolof Yoku mengatakan, lewat program ini diharapkan pengelolaan perkebunan kakao di Jayapura yang sudah berlangsung selama puluhan tahun sejak zaman penjajahan Belanda, dapat dikelola secara lebih modern. Selama ini, kata Adolof, perkebunan kakao dikelola secara tradisional yaitu penduduk hanya menanam tanpa melakukan perawatan sehingga hasil panen tidak optimal. Di Jayapura, umumnya setiap 1 hektare lahan kakao hanya menghasil 0,90 ton biji kakao.

Hasil ini jauh di bawah rata-rata nasional yang sebesar 2 ton per hektare. Karena itulah, proyek percontohan seperti di Hamonggrang dan Kuansu menjadi penting, yang jika berhasil, maka bisa diduplikasi untuk diterapkan di wilayah lain. "Seperti di Hamonggrang dan Kwansu, saat ini ada peningkatan signifikan sudah mencapai 1,2-1,3 ton per hektare. Saya harapkan nantinya angka ini bisa mendekati angka nasional. Bisa mencapai 1,7 ton per hektare saja sudah bagus," kata Adolof kepada Gresnews.com, Jumat (30/1).

Memodernisasi perkebunan kakao di Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura ini memang tidak mudah. Menurut Ganefo, mantan Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian, Kabupaten Jayapura, selain hambatan teknis, dan sumber daya manusia, ada juga hambatan budaya. "Di Papua, umumnya, masyarakat memang senang menanam apa saja termasuk kakao, hanya itu dilakukan untuk menandai wilayah. Umumnya setelah ditanam akan ditinggal begitu saja tanpa perawatan dan mereka baru akan kembali setelah ada hasil untuk dipanen," kata Ganefo kepada Gresnews.com. Hal inilah yang menyebabkan, perkebunan kakao di Papua tidak dapat menghasilkan panen yang optimal seperti di wilayah lainnya seperti di Sulawesi Selatan.

Mengubah budaya seperti ini, kata Ganefo, memang sulit. "Karena itu selain memberikan pelatihan, kita harus berikan pendampingan, jika tidak, maka mereka akan kembali lagi ke pola lama," ujarnya. Dengan pola perkebunan yang lebih baik, dimana masyarakat diajarkan menanam dengan teknik budidaya yang benar mulai dari pola tanam, jarak tanam, melakukan peremajaan tanaman dan perawatan tanaman, diharapkan kakao Papua, khususnya Kabupaten Jayapura, bisa menjadi produk andalan yang bisa menyejahterakan masyarakat.

Apalagi harga bijih kakao kering saat ini terhitung bagus yaitu berada di kisaran Rp27.000-Rp28.000 per kilogram. "Saya optimis program ini bisa berhasil dan nantinya dapat diterapkan di kawasan lain," kata pria yang kini menjabat sebagai Kepala Distrik Depapre itu.

Potensi kakao Papua sendiri memang sebenarnya sangat luar biasa. Menurut Drs. I Made Budi, M.Si, peneliti dari Universitas Cendrawasih Jayapura, kualitas biji kakao Papua sendiri sebenarnya berada di atas kualitas biji kakao yang dikembangkan di wilayah lain di Indonesia. Rendemen (persentase produk yang dihasilkan dibanding dengan bahan baku yang terolah) biji kakao Papua misalnya bisa mencapai 30-35 persen.

Jauh di atas rendemen biji kakao dari wilayah lain yang hanya berada di angka 20-25 persen. Misalnya, dari 100 kilogram biji kakao Papua, bisa menghasilkan sekitar 30-35 kilogram lemak kakao. "Produk kakao yang paling bernilai adalah lemak kakao ini karena bisa diolah menjadi berbagai produk turunan mulai dari makanan sampai kosmetika," kata Made kepada Gresnews.com.

Sementara biji kakao dari wilayah lain di Indonesia hanya bisa menghasilkan antara 20-25 kilogram lemak kakao. Hal inilah yang membuat Made kemudian tergerak untuk ikut turun membantu petani kakao di Kabupaten Jayapura khususnya, agar bisa ikut sejahtera dari membudidaya tanaman yang oleh orang Spanyol dijuluki sebagai "emas hitam" ini.

Karena itu, kata Made, dia sangat mendukung program peningkatan kemampuan budidaya bagi para petani yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura bekerjasama dengan Oxfam itu. "Itu merupakan suatu hal sangat bagus," katanya.

Hanya saja, kata Made, sebenarnya masih banyak hal yang bisa didorong khususnya oleh pemerintah daerah dan pusat agar kesejahteraan petani kakao, khususnya petani skala kecil dengan lahan antara 1-2 hektare seperti di Papua bisa lebih ditingkatkan. Salah satunya adalah membuat peraturan daerah atau bahkan aturan nasional untuk melindungi harga kakao.

Di Papua Nugini, misalnya, kata Made ada aturan serupa dimana pemerintah menetapkan harga kakao di tingkat petani agar petani bergairah menanam dan meningkatkan kualitas produk. "Di Indonesia, khususnya Papua seharusnya ada peraturan serupa supaya misalnya harga kakao bisa berada di kisaran Rp30.000-Rp35.000 per kilogram," kata Made.

Dengan aturan semacam ini, kata dia, petani akan bergairah dan diharapkan akan lebih mudah untuk dipacu meningkatkan kualitas produk karena ada jaminan harga. Selain itu, kata Made, produk kakao ini, khususnya Papua, bisa ditingkatkan lagi ke skala industri sehingga petani tidak hanya menjual produk berupa biji tetapi juga produk olahan. "Selama ini kakao dinilai sebagai produk untuk kelas atas, petani kakao Papua menanam kakao, tetapi tidak pernah menikmati produk coklat yang memiliki kandungan gizi yang tinggi bisa mencegah penyakit degeneratif," kata Made.

Padahal dengan teknologi sederhana, kata Made, petani atau orang-orang di desa juga bisa menghasilkan produk turunan kakao dan ikut menikmati produk yang memiliki nilai gizi tinggi itu. Karena itulah Made kemudian berikhtiar menciptakan mesin-mesin pengolahan sederhana untuk bisa diterapkan dan dimanfaatkan oleh industri skala kecil.

Di workshop miliknya, di Jayapura, Made membangun mesin-mesin pengolahan sederhana yang bisa diduplikasi oleh para perajin kakao untuk bisa menghasilkan produk olahan kakao. Ada sekitar 5-6 mesin yang diciptakan Made yang prototipenya dia pelajari dari situs jejaring video Youtube.

Pertama adalah mesin untuk menyangrai biji kakao kering agar biji kakao siap diolah dengan kualitas baik yaitu memiliki kandungan air hanya sebesar 2%. Mesin sederhana ini mampu mengeringkan sekitar 20 kilogram biji kakao sekali beroperasi. Dari mesin sangrai, nantinya biji kakao ini diolah lagi ke mesin pengolah untuk menghasilkan pasta kakao.

Lewat mesin ini, biji kakao menghasilkan pasta yang siap diolah menjadi bubuk kakao dan juga lemak kakao yang bernilai tinggi tadi. Untuk produk makanan, bubuk kakao bisa diolah lagi di mesin mixer untuk bisa dicampur dengan bahan lain seperti gula dan susu. Hasil campuran ini kemudian dilembutkan lagi di sebuah mesin yang disebut ball mill.

Dari situlah produk kakao bisa dibentuk menjadi coklat batangan, bubuk kakao, atau dicampur dengan makanan lainnya seperti popcorn dan kacang yang dicampur lewat sebuah mesin pencampur khusus. Di Eropa atau negara seperti Malaysia, mesin canggih untuk mengolah produk kakao ini bisa berharga Rp15 miliar dan mesin-mesin itu terintegrasi secara utuh sehingga dengan sekali proses biji kakao sudah langsung bisa keluar dengan berbagai macam produk mulai dari coklat batangan, hingga jenis lainnya.


"Karena itu industri coklat seringkali sifatnya monopolistik, karena hanya pemain besar skala industri yang mampu berinvestasi. Itu sebabnya produk coklat dinilai sebagai produk kelas atas," ujar Made. Namun dari hasil ikhtiarnya menciptakan mesin sederhana itu, kata Made, diharapkan produk kakao juga bisa diproduksi dalam skala kecil dan dinikmati oleh masyakarat kalangan bawah.

Modal untuk berinvestasi mesin ini kata Made bisa mencapai Rp300 juta. Namun setiap pekan lewat mesin sederhana ini, bisa mengolah biji kakao sebanyak 300 kilogram. "Dari hitungan saya, investasi sebesar itu bisa kembali modal hanya dalam jangka waktu enam bulan," ujarnya.

Harapan serupa sebenarnya juga tengah diapungkan oleh para petani seperti Salmon Sanggrabano. Untuk saat ini, dari hasil membudidaya dan menjual biji kakao saja dengan tingkat harga antara Rp22.000 hingga Rp25.000 per kilogram, dia sudah mampu menghidupi istri dan kesembilan anaknya.

Bahkan lima dari 9 anaknya yang sudah dewasa kini sudah mampu mandiri dan mendapatkan pendidikan tinggi. "Satu anak saya sudah lulus fakultas pertanian di Jayapura dan kini bertugas di Jakarta, dua lagi masih menempuh pendidikan tinggi dan yang dua masih bersekolah di tingkat SMU," kata Salmon.

Hanya saja, asa Salmon dan kebanyakan petani kakao di Kabupaten Jayapura, khususnya Hamonggrang dan Kwansu untuk bisa hidup sejahtera dari kakao memang masih membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Adik Salmon, Tidores Sanggrabano bercerita, untuk saat ini misalnya, masyarakat baik di Hamonggrang dan Kwansu sangat membutuhkan akses jembatan untuk bisa bekerja dengan baik dan mengangkut hasil panen di lahan mereka yang kebanyakan berada di seberang sungai Grime.

Sungai ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi bagi warga karena sering mengalami banjir bandang di waktu hujan yang bisa menghancurkan lahan kakao mereka. Ada sekitar 50 hektare lahan yang berada di seberang sungai yang juga menjadi habitat bagi buaya yang juga menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan warga. "Akses jembatan itu putus waktu banjir bandang di tahun 2003 lalu sampai saat ini belum dibangun lagi," kata Tidores kepada Gresnews.com.

Tanpa jembatan, warga menghadapi risiko tinggi untuk pergi ke kebun dan merawat tanaman, juga saat akan memanen dan mengangkut hasil panen. Alfonsina Sanggrabano bercerita, saat musim banjir, warga harus menyeberang dengan membuat rakit dari batang pisang. Ini sangat berisiko karena rakit akan mudah terbalik. "Kalau kita muatkan dua karung saja isi masing-masing 50 kilogram biji kakao lalu rakit terbalik, dan biji kakao yang sudah dipanen hanyut, tinggal penyesalan saja sudah yang tersisa," kata Alfonsina.

Toh, bagi warga yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa. Apalagi akses melalui sungai Grime juga penting bagi anak-anak di Hamongrang dan Kwansu yang bersekolah di sekolah dasar satu-satunya di wilayah itu. "Anak-anak pada musim banjir juga menyeberang dengan rakit dan itu berbahaya," kata Alfonsina. Warga pun sudah sejak lama menyampaikan keluhan soal jembatan ini ke pemerintah setempat, sayangnya, hingga kini belum juga ada respons.

Adolof Yoku sendiri mengaku pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk memasukkan proyek jembatan di Hamonggrang itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). "Kami sudah berkoordinasi dan terakhirnya sebenarnya sudah dimasukkan dalam RPJMD tingkat distrik dan ini akan kami dorong untuk masuk RPJMD Kabupaten, mereka sudah janji akan membangun jembatan ini secepat mungkin, kami akan terus upayakan ini," kata Adolof.    

BACA JUGA: