JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah untuk tetap mengundang investor asing masuk dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat disayangkan oleh  Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ketua Umum KNTI Riza Damanik mengatakan, secara mutlak keputusan ini bertentangan dengan Putusan MK terkait Uji Materi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Visi-Misi maupun 9 Janji Perubahan (NAWACITA) Jokowi JK.

"Investasi asing di pulau kecil itu ibarat narkoba. Sekali di mulai akan terus ketagihan hingga meluas keseluruh kepulauan Indonesia. Berawal 4 pulau, di akhir 2015 direncanakan dibuka 100 pulau lagi, berikutnya ditambah 300 pulau, terus berlanjut sampai tak ada ruang tersisa bagi tumbuh kembangnya ekonomi rakyat," ujarnya kepada Gresnews.com, Sabtu (18/4).

Dalam jangka pendek rezim ini, kata Riza, memang akan terlihat berhasil membangun. Tapi dalam jangka panjang hanya akan merugikan bangsa. "Inilah disebut ilusi pembangunan," ujarnya.

Justru, kata Riza, terkait pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sudah saatnya BUMN, BUMD, koperasi maupun unit usaha nasional lain ditempatkan menjadi tuan rumah. "Toh, kebutuhan investasi di pulau-pulau kecil tidak selalu besar dan masih mungkin dibiayai oleh modal domestik," ujarnya.

KNTI menilai, ada tiga indikasi yang menambah bobot ketidakrelevan keterlibatan investasi asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia hari ini. Pertama, fakta bawah instrumen pengawasan laut Indonesia belum berjalan efektif.

"Kasus Benjina seharusnya menjadi pelajaran buruk bahwa investasi asing di daerah remote area, semacam pulau kecil adalah ancaman serius terhadap pertahanan, keamanan, maupun kedaulatan dalam segala aspek ke depannya," kata Riza.

Kedua, belum sinkronnya prioritas pengaturan ruang laut antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, nelayan, masyarakat adat, maupun masyarakat lokal. Ketiga, sejatinya pembiayaan investasi perikanan, peternakan, konservasi, dan lain lain di pulau kecil bukanlah ongkos yang teramat besar.

"Kekuatan domestik masih mampu membiayainya. Hanya butuh terobosan pemerintah untuk memberi kemudahan pembiayaan di sektor kemaritiman. Membuka sedari awal keterlibatan asing akan mempersempit kesempatan usaha rakyat," ujarnya berargumen.

Untuk itu, kata Riza, KNTI mendesak pemerintah dan DPR untuk bersama-sama mengoptimalkan Program Legislasi Nasional 2015-2019 untuk memperluas substansi revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Salah satunya adalah dengan mengoreksi Pasal 26A terkait keterlibatan investasi asing dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Pemerintah juga harus segera merevisi Peraturan Presiden No.39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal untuk memasukkan usaha penangkapan ikan ke dalam daftar negatif investasi asing.

"KNTI menyerukan kepada organisasi nelayan, masyarakat pesisir, dan penyelenggara negara di seluruh tingkatan untuk bersama-sama mewujudkan demokratisasi pengelolaan laut dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia," pungkas Riza.

Sebelumnya pihak KKP sendiri beralasan, minat investor dalam negeri menggarap serta mengembangkan pulau-pulau kecil dan terpencil masih minim. Mayoritas investor yang menggarap pulau kecil dan terpencil justru dilakukan investor asing melalui tangan warga lokal atau disebut perjanjian nominee.

"Saya kepinginnya perusahaan Indonesia tetapi ternyata belum banyak karena return of investment-nya cukup lama," ungkap Dirjen Kelautan dan Pesisir Pulau-pulau Kecil (KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad, Rabu (15/04) lalu.

Selain return of investment yang cukup lama, hal lain yang berdampak pada minimnya minat investor, yaitu investasi ini beresiko tinggi dan nilai investasi yang dibutuhkan tidak sedikit. Saat ini sudah ada 63 pulau kecil dan terpencil yang sudah berhasil dikelola asing melalui kepemilikan warga lokal (nominee). Seperti pulau-pulau kecil dan terpencil di wilayah timur Indonesia yang digarap Australia, Jepang hingga negara-negara Eropa.

Ada beberapa cara yang dilakukan KKP untuk menumbuhkan minat investor dalam negeri berinvestasi di sektor pulau kecil dan terpencil di dalam negeri. KKP juga berkomitmen segera melakukan langkah-langkah strategis terkait investasi PMA di pulau-pulau kecil yang diduga menggunakan nominee, diantaranya:

1. Melakukan identifikasi dan pendataan pulau-pulau kecil yang telah terinvestasi oleh investor asing yang diduga menggunakan nominee.

2. Melakukan verifikasi lapangan dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah, instansi terkait di pusat seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Badan Pertanahan Nasional.

3. Melakukan fasilitasi perizinan investasi sesuai peraturan perundang-undangan.

4. Melakukan kegiatan promosi investasi di dalam negeri dan luar negeri, diantaranya Pameran Deep Extreeme Jakarta pada Bulan Mei 2015, Temu Bisnis Investasi Pulau-pulau Kecil, dan The 4th RBF CTI-CFF Bali pada Bulan Agustus 2015.

5. Penyusunan dan perbaikan regulasi untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan mekanisme investasi, persyaratan dan jangka waktu pengurusan dan biaya yang diperlukan, diantaranya: (a) RPP Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. (b) Rancangan Perpres Luasan Lahan dan Pengalihan Saham dalam Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Pemanfaatan Perairan di Sekitarnya dalam rangka PMA, (c) Revisi Permen Kelautan dan Perikanan Tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, serta 4) penyusunan Roadmap Investasi di PPK.

Selain itu, sebuah Peraturan Presiden (Perpres) juga sedang disiapkan untuk mengatur pengalihan saham (disvestasi) dan luasan lahan yang dimiliki asing. Diharapkan aturan yang ditargetkan keluar tahun ini akan membatasi dominasi asing dalam pengelolaan pulau kecil dan terpencil.

"Perpres-nya tahun ini selesai, sudah di Kementerian Hukum dan HAM. Semua instansi terkait ikut seperti BKPM, Pemda, PU, KKP, Pariwisata, Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan Pendidikan," jelas Saad. (dtc)

BACA JUGA: