JAKARTA, GRESNEWS.COM - Korupsi di sektor kehutanan masih menggurita, kerugiannya tak tanggung hingga ratusan trilun.  Namun pemerintah Joko Widodo hingga kini belum juga memperlihatkan gebrakan serius menangani sektor kehutanan.

Leader Komoditas Hutan WWF- Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan kebijakan penegakan hukum pemerintah dibidang kehutanan masih lemah. Salah satu contohnya yaitu tidak tercantumnya klausul penindakan korupsi  dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Sistem (SVLK).

"Pemberantasan prakti-praktik ilegal di bidang kehutanan belum berjalan optimal akibat belum adanya penegakan hukum untuk kejahatan korupsi," kata Aditya saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (24/3).

Akibatnya, SVLK minus klausul penindakan korupsi juga berdampak pada praktik ilegal lainnya dibidang kehutanan seperti illegal logging dan modus operandi dalam konteks perizinan. Sejauh ini belum ada proses dan kekuatan hukum untuk menindak para oknum pemberi izin ilegal bagi perusahaan tertentu.

Misalnya, proses praktik ilegal sebetulnya diketahui oleh  petugas kehutanan. Dalam izin tercantum jumlah kayu sebesar 1.000 meter kubik, namun yang diangkut 2.000. Kesalahan ini murni terjadi di lapangan dan lolos dari pengawasan pemerintah.

"Ada koorporasi antara pengawas atau petugas kehutanan dengan oknum untuk menggelapkan kayu. Biasanya petugas kehutanan diberikan amplop dan suap oleh oknum tertentu. Ini sudah jadi rahasia umum," kata Aditya.

Maraknya korupsi sektor kehutanan dan sektor industri berbasis lahan membuat kerugian besar pada pendapatan negara. Sesuai data Kementerian Kehutanan, pada 2012 kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 273,924 triliun.

Bila merujuk dari data tersebut, maka bisa dikatakan masih banyak kasus dan proses pemberian izin di lapangan yang masih cacat hukum. Hal tersebut menurut Aditya akan menimbulkan preseden buruk bila praktik suap dibiarkan tanpa ada tindakan tegas pemerintah. Terkait hal itu, Aditya menegaskan, sanksi korupsi dan penyimpangan tersebut harus segera ditangani pemerintah dan merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH), Kepolisian dan Kejaksaan.

Selain sanksi, harus ada prosedur yang jelas terkait tanggung jawab, misalnya bilamana pelanggaran dilakukan pegawai maka harus ada perjanjian untuk melimpahkan sanksi ke perusahaan. Sesuai standar baku, proses penebangan, pembukaan lahan dan segala aktivitas perusahaan harus ada izin dan inspeksi oleh pemerintah.

Berikut penjelasan Aditya soal kronologis pengajuan permohonan (proposal) hingga izin dikeluarkan sesuai kerangka aturan yang berlaku. Sebelum melakukan aktivitas di sektor kehutanan, perusahaan harus mengirimkan proposal ke tingkat dua (Pemda). Setelah melalui pertimbangan, proposal tersebut disampaikan kepada perwakilan tingkat I (Pemprov). Usai diputuskan melalui persetujuan, permohonan tersebut disampaikan ke pemerintah pusat dan dilakukan peninjauan langsung ke lokasi.

Tinjauan yang dimaksud adalah, lolos tes analisis dampak lingkungan (amdal), tidak mengganggu konsesi perusahaan lain dan terhindar dari tanah ulayat masyarakat. Setelah semua ketentuan dan prosedur dipenuhi, maka perusahaan tersebut layak diberikan izin (license) dari negara. Nah biasanya pada tahapan tersebut upaya suap kerap kali terjadi pada pejabat pemerintah dari para pengusaha.

Juru Kampanye Walhi Nasional Edo Rakhma mengatakan pemerintah sepatutnya menegakan aturan dan sanksi tegas kepada pelaku korupsi di sektor kehutanan. Ia mengusulkan, pemerintah menggandeng KPK untuk melakukan audit atau pemeriksaan secara berkelanjutan guna menghentikan kejahatan korupsi di lapangan.

"Kabinet Kerja Jokowi-JK khususnya Menteri KLH Siti Nurbaya meninjau kembali izin di sektor kehutanan yang dikeluarkan oleh menteri-menteri sebelumnya," ujar Edo.

Sebelumnya sejumlah LSM itu antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Haka (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh), Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Ammalta (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang) Sulawesi Utara, dan MCW (Malang Corruption Watch).

Mereka mengungkapkan, hasil investigasi kasus korupsi di enam daerah (Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur) ditemukan beberapa kasus yang terindikasi korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan. Dari sebanyak enam kasus dugaan korupsi yang ditemukan, terdapat kerugian negara, sekurang-kurangnya Rp201,82 Triliun, serta setidaknya terdapat enam pola atau modus yang digunakan.

Beragam modus itu antara lain merambah hutan baik secara ilegal maupun legal, misalnya seperti melakukan penegangan di wilayah konservasi, serta menyiasati atau memanipulasi perizinan. Selain itu, modus lainnya adalah tidak membayar dana reklamasi, menggunakan "broker/calo" untuk mengurus perizinan, menggunakan proteksi "bekingan" dari oknum penegak hukum, dan memanfaatkan posisi sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya bisa memperoleh konsesi.

BACA JUGA: