JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah berupaya menggenjot penerimaan dari sektor cukai dengan menaikkan cukai rata-rata sebesar 10,54% dan kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%. Dalam Permenkeu No. 147/PMK.010/2016 disebutkan kenaikan tarif tertinggi sebesar 13,46% untuk jenis tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah nol persen untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB.

Dari kenaikan itu, pemerintah menargetkan penerimaan sebesar Rp149,8 triliun dari cukai rokok atau 11,72% dari total penerimaan negara 2017. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kontribusi cukai terhadap negara makin tahun semakin menurun. Terlihat untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap penerimaan negara adalah sebesar 12,29%, tahun 2015 sebesar 11,68%, dan tahun 2016 sebesar 11,72%.

"Tren per tahun selalu menurun, dan ini tandanya baik, karena cukai bukan sumber penerimaan namun sebagai pengendalian konsumsi," paparnya dalam konferensi pers di kantor pusat DKJBC, Jakarta, Jumat (30/9).

Sri Mulyani menambahkan dari penerimaan cukai rokok, ada pengembalian sebagian dana ke pemerintah daerah berupa dana alokasi kesehatan, atau dikenal dengan istilah earmarking. Di tahun 2014 dana earmarking sebesar Rp11,2 triliun, tahun 2015 sebesar Rp15,14 triliun, dan tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp17 triliun.

"Adanya peningkatan pada jumlah dana yang dialokasikan, menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap aspek kesehatan. Disamping untuk kesehatan, dana tersebut juga diperuntukkan bagi persiapan pengalihan orang yang bekerja dalam industri rokok untuk beralih ke industri lain," tandasnya.

Hanya saja, upaya pemerintah menggenjot penerimaan dari cukai sekaligus melindungi kesehatan masyarakat ini justru mendapat tentangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai, rencana kenaikan cukai ini akan mematikan petani tembakau, namun di sisi lain tak akan mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Menurut Saleh, pemerintah tidak memperhatikan aspek sosial dalam mengambil keputusan ini. Menurutnya pemerintah hanya berfokus kepada penambahan pendapatan negara dari sektor cukai, padahal banyak sekali yang perlu pemerintah pertimbangkan untuk menaikan cukai rokok.

Kenaikan sebesar 10,54 persen dianggap terlalu besar. "Kenaikan cukai tidak bisa terlalu tinggi," ujar Saleh di gedung DPR, Senin, (3/9).

Ia juga menyatakan, kemungkinan adanya penambahan pengangguran di sektor industri rokok akibat kenaikan cukai yang terlalu tinggi. Seharusnya pemerintah malah membantu para Industri rokok dalam negeri untuk memasarkannya ke ke luar negeri, sehingga industri rokok dalam negeri bisa tetap hidup dan menambah lapangan pekerjaan.

Terkait permasalahan mengurangi jumlah perokok di Indonesia, menurut Saleh, menaikkan harga cukai bukanlah solusi yang tepat. Saleh mengatakan, kampanye antirokok harus terus digalakkan dengan target para anak muda yang belum merokok. Dengan demikian akan mengurangi jumlah perokok baru.

Lewat cara ini, meski jumlah perokok tidak berkurang akan tetapi minimal tidak bertambah. "Kampanye yang ada sekarang hasilnya tidak terlalu memuaskan," pungkasnya.

NASIB PETANI DAN INDUSTRI ROKOK - Senada dengan Saleh, anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar M. Misbakhun juga menolak kenaikan cukai rokok tersebut. Menurutnya pemerintah harus mempertimbangkan kehidupan para petani tembakau yang saat ini sedang mengalami cobaan berupa anomali cuaca dan menyebabkan turunnya kualitas tembakau.

Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada turunnya harga jual tembakau. "Anomali cuaca menyebabkan potensi gagal panen sebesar 40 persen," ujar Misbakhun, Senin (3/9).

Hal itu ia dapatkan setelah melakukan kunjungan ke Pasuruan dan Probolinggo yang merupakan daerah pemilihannya. Di sana, Misbakhun menerima keluhan para petani tembakau mengenai kondisi pertanian tembakau yang sedang menurun karena anomali cuaca sehingga produktivitas tembakau hanya mencapai 40 persen.

Kebijakan kenaikan cukai jelas akan menambah sulit nasib para petani tembakau, para petani tembakau tentunya akan semakin terjepit akibat dampak kenaikan harga cukai. Misbakhun juga mengkritisi pihak kementerian keuangan yang membawa-bawa aspek sosial dalam menerapkan kebijakan ini.

Menurutnya hal tersebut bukanlah ranah kementerian keuangan sehingga sekarang kementerian keuangan terlihat menjadi agen anti tembakau. "Tugas kementerian keuangan hanya memungut cukai," tegasnya.

Keberatan senada juga disampaikan para pengusaha rokok. Ketua Umum Asosiasi Pengsaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok yang dimulai awal tahun depan terbilang tinggi. Seharusnya pemerintah bertahap menaikkan tarif cukai rokok yang nantinya berimbas kepada tingkat produksi rokok.

"Intinya mengenai masalah cukai menurut pandangan kami sebaiknya tidak diberlakukan setinggi itu. Karena sepengetahuan kami harusnya dilakukan bertahap, sehingga tidak langsung 13% karena itu akan memukul produksi kita," jelas Hariyadi di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Jumat (30/9).

"Tapi kebiasaan dari pemerintah itu kalau kekurangan dana yang nomor satu dinaikkan adalah cukai," tambah Hariyadi.

Menurutnya dengan meningkatnya cukai rokok di tahun 2017 akan mengakibatkan turunnya angka produksi rokok di Indonesia. Turunnya angka produksi juga akan berimbas kepada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pegawai dalam jumlah besar dan petani tembakau.

"Pasti ada penurunan produksi. Kalau begitu pasti ada pengurangan karyawan dan itu tidak hanya karyawan, petani tembakau juga akan terkena," jelas Hariyadi.

Selain itu, kenaikan cukai rokok juga akan menimbulkan maraknya cukai rokok ilegal. Sehingga bertambahnya kasus penjualan rokok tanpa pita cukai resmi akan berkontribusi terhadap kerugian negara. "Kalau cukainya terlalu tinggi maka mengakibatkan terjadi cukai palsu," ujar Hariyadi.

TERLALU KONSERVATIF - Di lain pihak, Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, dalam konteks kesehatan untuk perlindungan pada masyarakat konsumen, dan bahkan pada perspektif finansial ekonomi, besaran kenaikan cukai rokok pada 2017 malah dinilai terlalu konservatif. Bahkan sangat tidak berpihak pada perlindungan masyarakat konsumen yang terdampak akibat konsumsi rokok, baik dampak kesehatan dan atau dampak ekonomi.

Kenaikan yang dilakukan pemerintah lebih rendah dibandingkan tarif yang diberlakukan tahun 2016 yakni sebesar 11,19 persen. Dengan rendahnya kenaikan cukai rokok naik yang hanya 10,54 persen tidak akan mampu menahan laju konsumsi pada masyarakat.

Akibatnya, kata Tulus, cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok akan mengalami kegagalan, karena persentase kenaikan yang terlalu rendah. Menurutnya, jika hanya memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi plus inflasi itu berarti tidak akan mengurangi affordability atau daya beli.

"Kenaikan cukai minimal harus dua kali lipatnya yakni 20 persen," ujar Tulus Abadi melalui pesan yang diterima gresnews.com, Senin (3/9).

Ia juga menyatakan, kenaikan cukai ini terlalu berpihak pada kepentingan industri rokok. Alasnanya, kenaikan cukai tersebut berlaku untuk 2017 dan sudah diumumkan dari sekarang sehingga industri rokok bisa memproduksi sebanyak-banyaknya atau menimbun dengan memanfaatkan harga cukai yang belum naik.

"Mayoritas masyarakat Indonesia mendukung agar cukai dan harga rokok dinaikkan secara kan, untuk memproteksi masyarakat dari bahaya rokok," tegas Tulus. (dtc)

BACA JUGA: