JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana memberlakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ganda kepada industri rokok. Nantinya, PPN sebesar 10 persen akan dikenakan ketika produk rokok tersebut keluar dari pabrik dan ditambah lagi 10 persen ketika pedagang besar menjual rokok ke pihak pengecer dan masyarakat.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, skema tersebut dilakukan pemerintah agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa meningkatkan basis data perpajakan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok. "Supaya DJP bisa mendapatkan NPWP bagi semua pihak dalam industri rokok, data ini sangat penting dibandingkan penerimaan negara yang berasal dari PPN rokok," kata Suahasil di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (27/9).

Menurutnya, dengan skema pajak masuk dan keluar PPN 10 persen, maka Direktorat Jenderal Pajak bisa mendapatkan data semua rangkaian yang terlibat pada industri rokok dari hulu ke hilir. Data ini, kata Suahasil, jauh lebih berharga dibandingkan penerimaan. Bahkan penerimaan negara yang berasal dari PPN rokok dapat diambil secara maksimal.

"Misalnya pabrik rokok jual wholeseller ke penjual eceran semua yang terlibat harus miliki NPWP. Sistem ini telah kami komunikasikan ke industri tembakau, mereka mengaku siap, tetapi meminta waktu dari sisi rantai produksinya agar semuanya taat pajak," kata Suahasil.

Sebelumnya pemerintah juga telah menetapkan PPN rokok sebesar 8,7 persen yang diambil dari pabrik rokok pada saat mendistribusikan rokok ke pedagang (pajak keluar). Tetapi dengan adanya pengenaan PPN rokok berganda sebesar 10 persen tersebut, maka secara rata-rata pemerintah dapat menerapkan PPN rokok sebesar 9,1 persen.

Suahasil mengklaim dengan pengenaan PPN rokok sebesar rata-rata 9,1 persen maka akan meningkatkan penerimaan negara. Di sisi lain penerapan PPN rokok tersebut tidak membebankan para pelaku industri rokok. "Dengan naiknya 8,7 persen saat ini, kemudian menjadi sebesar 9,1 persen dengan secara rata-rata, kami yakin dalam penerimaan negara dapat meningkat, apalagi kondisi sekarang penerimaan negara yang tengah sulit," imbuhnya.

Pemerintah memang mengklaim pihak industri sudah setuju dengan skema itu. Tetapi tetap saja, para pelaku industri rokok menyuarakan penolakan mereka atas rencana pengenaan PPN berganda untuk rokok. Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Suhardjo mengatakan, pemerintah telah bersikap inkonsisten dalam menerapkan kebijakan yang sudah disepakati sebelumnya.

Dia mengaku keberatan jika pemberlakuan PPN berganda 10 persen itu dilakukan tahun ini. Pasalnya, sesuai perjanjian, kebijakan itu baru akan dilakukan pada 2018 mendatang. Industri rokok keberatan dengan percepatan pemberlakuan karena tahun ini PPN rokok sudah naik dari 8,4 persen menjadi 8,7 persen. Kemudian, pada 2017 naik menjadi 8,9 persen, di 2018 menjadi 9,1 persen.

Masalahnya, Kemenkeu kini malah mempercepat jadwal kenaikan PPN menjadi langsung 10 persen. Percepatan yang dipicu paniknya pemerintah dalam menggenjot pajak ini, kata Suhardjo, akan merugikan pelaku industri. Karenanya dia meminta pemerintah konsisten dengan skema semula. "Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari," kata Suhardjo.

Dia menilai, industri rokok belum siap jika pemberlakuan PPN berganda itu dilakukan, terutama para distributor rokok. Apalagi, tarif cukai rokok juga akan dinaikkan. "Saya khawatir kenaikan PPN akan mengganggu penerimaan cukai," katanya.

Keberatan serupa juga disampaikan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti. Pengenaan PPN berganda ini, kata dia, membuat efisiensi proses penjualan menjadi menurun. "Kalau kita menggunakan sistem umum itu berarti setiap kali ada transaksi termasuk transaksi salesman kita jual ke retailer atau pengecer, dia harus membuat faktur pajak. Itu ribet sekali," katanya.

Dampaknya, jika tetap diberlakukan, perusahaan dengan sistem pembayaran PPN yang sudah berjalan terpaksa harus mengubah kembali sistemnya, dan itu akan memakan waktu lama. "Karena tidak gampang begitu saja. Membangun sistem, training kepada user-nya dan sosialisasi. Memakan waktu tidak bisa setahun mungkin sampai dua tahun," paparnya.

BEBANI INDUSTRI - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mohammad Reza Hafiz mengatakan, PPN hasil tembakau (rokok) selama ini mekanismenya memang berbeda dengan dengan barang/jasa kena pajak lain, yang sudah lebih dulu menggunakan double PPN. PPN tembakau hanya ditetapkan satu kali dengan tarif sekarang 8,7 persen di tingkat produsen.

Dia menilai jika PPN rokok dijadikan berganda dengan tarif 10 persen, akan memberatkan industri rokok dan pedagang (wholeseller). "Karena, hasil tembakau itu sudah kena cukai dengan tarif yang cukup tinggi dan akan terus naik sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok. Saya pikir perlu bertahap, jangan instan double PPN langsung seperti itu, dan jika perlu tetap dengan single PPN tapi tarifnya disesuaikan," kata Reza kepada gresnews.com, Rabu (28/9).

Dia menjelaskan, pemerintah memilih salah satu opsi. Pertama, PPN rokok dikenakan di tingkat produsen. Kedua, PPN dikenakan di tingkat pedagang. "Kalau produsen sudah kena cukai, bisa dialihkan ke pedagang dengan syarat mereka buat NPWP, sehingga data pajak hulu ke hilir industri tembakau bisa diketahui otoritas pajak," ujarnya.

Sementara itu Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menolak rencana pungutan PPN ganda rokok sebanyak 10 persen. Uchok mengatakan, dengan pengenaan PPN rokok berganda sebesar 10 persen tersebut, harga rokok bisa melonjak menjadi Rp20 ribu-Rp30 ribu per bungkus.

Dampaknya, akan mencekik konsumen dan petani tembakau. "Ini sangat mencekik petani tembakau, atau ini sama saja, pelan–pelan pemerintah sedang membidik petani tembakau mati mengenaskan, agar petani tembakau dari China bisa masuk bebas ke Indoensia," kata Uchok kepada gresnews.com, Rabu (28/9).

Uchok mengatakan, yang menanggung beban pajak dan cukai rokok selama ini bukan pabrik, melainkan konsumen. Dengan pemberlakuan PPN ganda ini, kata dia, sama saja pemerintah memberlakukan PPN ganda ke konsumen rokok. Belum lagi saat ini, para perokok tidak nyaman merokok pada tempat-tempat yang dilarang oleh Pemda.

Kemudian, ditambah dengan naiknya cukai rokok. "Maka aturan ini dibuat Presiden Jokowi untuk menggenjot kenaikan penerima negara, dan mengorbankan petani tembakau, dan konsumen rokok," tegasnya.

BACA JUGA: