JAKARTA, GRESNEWS.COM - Draf Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara dinilai sebagai draf yang mengerikan bagi para pakar dan aktivis lingkungan hidup. Pasalnya, dalam rancangan beleid yang sudah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu itu, terdapat klausul yang memperbolehkan dilakukannya eksplorasi alias pertambangan bawah laut.

Draf ini pun kemudian ramai-ramai ditentang oleh para pegiat lingkungan hidup. Izin pertambangan bawah laut dinilai akan membawa dampak yang buruk dan merusak ekosistem serta keanekaragaman hayati laut, meski di sisi lain, Indonesia ternyata memiliki potensi luar biasa untuk eksplorasi pertambangan bawah lautnya.

Pakar Geologi Eko Teguh Paripurno menyatakan contoh penambangan di bawah laut Indonesia sudah terdapat di Bangka, berupa timah di laut. Dampaknya, nelayan menyatakan tangkapan ikan menurun. "Ada yang menyatakan pertambangan merupakan hulu dari pembangunan, pada kenyataannya pembangunan meningkatkan kerentanan," kata Eko dalam sebuah acara diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (6/4).

Karena itu, kata dia, klausul pertambangan bawah laut yang diajukan dalam RUU Minerba itu dinilai akan sangat membahayakan. Apalagi, menurut Eko, urusan pertambangan juga lekat dengan berbagai masalah sosial seperti pelanggaran hak asasi manusia, konflik sumber daya alam dan perebutan lahan warga. Risiko SDA di lingkungan darat ataupun di laut tak ada perbedaan.

"Sebab faktanya ada degradasi lingkungan yang tak terhitung, merentankan masyarakat, dan penambangannya bersifat instan jangka pendek," ujarnya.

Dia mengakui laut Indonesia memang kaya barang tambang. Timah misalnya terdapat di sungai purba dataran Sunda di dasar laut Bangka Belitung. Besi terdapat di sepanjang pantai vulkanik di selatan Jawa, mulai dari Tasikmalaya sampai Jember Selatan. Sementara untuk wilayah utara Jawa ada juga di Jepara. Ia pun mencontohkan terdapat kampung bernama Sigar, yang penduduknya diusir semua untuk diambil pasir besinya. Pengerukan pasir Banten diketahui untuk Jakarta, NTB untuk Bali, Riau untuk Singapura.

"Dalam tambang timah misalnya, yang legal timah dikeruk dicuci di tempat itu juga agar kandungannya naik, lalu dibawa ke darat diselesaikan di darat. Nah ini limbahnya bagaimana?" ujarnya.

Dampaknya pun beragam, mulai dari perubahan vegetasi di laut, semua biota laut akan habis dengan adanya ekplorasi bawah laut. Pola morfologi, pola arus berubah, muncul ketidakstabilan pantai dan kerusakan pada sedimen. Semua itu, kata dia, membantah pernyataan perusahaan pertambangan yang mengatakan tak ada dampak pada pertambangan laut khususnya kepada manusia karena tak ada manusia tinggal di laut.

Eko mengatakan, kerusakan di laut jelas akan berdampak pada manusia yang tinggal di daratan. "Kitab kita beda," katanya.

Terlebih, kata dia, dalam RUU Minerba yang sudah diajukan juga tak ada kejelasan soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). "Jangan sampai kriteria darat dipakai untuk laut sehingga terjadi ketidaksinkronan. Untuk itu perlu ada amdal khusus tambang laut," ujarnya.

Menurutnya, tambang laut bukan sekadar berarti tambang di laut tapi juga tambang yang melontarkan limbah di laut. "Bagaimana biota ke rantai makanan? Akumulasinya? Bagaimana risiko akhir pencemar dan tercemar. Ya pikir itunya juga. Jangan sampai akhir dari akibat dan risiko tak pernah dihitung," katanya.

Dampak berikutnya terdapat sedimentasi dan suspensi yang mengubah bentang alam dan pantai perairan yang berujung pada berkurangnya keanekaragaman hayati. "Ikan juga akan pergi bukan karena suspensi langsung tapi juga karena tak ada makanan," kata Eko.

Kesimpulannya, kata dia, seharusnya pemerintah tak boleh membenarkan mengambil keuntungan dengan merugikan yang lain. Misal UU minerba ini buka pertambangan bawah laut, untung di tambang tapi menutup rezeki perikanan. "Untung di sini rugi di sana. Jadi tidak benar mengurangi risiko untuk meningkatkan kerentanan pihak lain. Perangkat pemerintah dengan UU-nya lah yang harus memastikan," kata Eko.

KELINCI PERCOBAAN - Pendapat berbeda soal ini disampaikan pengamat hukum laut internasional Hasyim Jalal. Dia menyatakan terdapat banyak mineral yang dapat diambil dari laut Indonesia. Sayangnya negara kita tak pernah mengambil ini padahal negara-negara seperti Amerika, Singapura, bahkan India sudah mulai memanfaatkan kekayaan laut tak hanya di negaranya namun juga di laut internasinal.

"Saya juga tidak tahu mengapa Indonesia tidak mau ekplorasi padahal di konsesi internasional dijamin kemudahannya baik itu dari segi biaya maupun transfer teknologi," katanya.

Dalam konsesi tersebut juga diungkapkan hak dan bagian negara berkembang yang dapat diambil dari hasil ekplorasi negara maju. Dalam hal ini negara yang memanfaatkan yaitu Nauru, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. "Kita perlu perhatian yang kontinu. Ini perhatiannya tak ada tapi lebih banyak bicara maritim dan poros laut," ujarnya.

Meski ada kekayaan berupa barang tambang yang ada di laut, Indonesia memang disarankan para aktivis lingkungan tidak tergoda untuk mengambilnya lantaran dinilai akan sangat membahayakan. Peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Budi Afandi mengatakan, dari beberapa contoh negara yang melakukan itu, terlihat dampak lingkungan yang sangat parah.

Di Papua Nugini, misalnya, risiko kerusakan lingkungan akibat pertambangan di laut sangat tinggi. Pasalnya, soal kandungan tambang sulit dipastikan dan teknologi untuk melakukan penambangan bawah laut masih sangat minim. Budi mengaku khawatir, Indonesia sengaja didorong menjadi "Kelinci Percobaan" untuk melakukan penambangan bawah laut dengan melegalisasi hal itu lewat revisi UU Minerba.

Aktivis lingkungan Chalid Muhammad juga menilai dorongan legalisasi eksplorasi tambang bawah laut merupakan ulah spekulan tambang. "Kita terbilang sangat kaya. Para spekulan tambang berusaha dapatkan aturan melegalkan eksploitasi dasar laut," katanya.

Dia menyebut, pertambangan bawah laut murni ulah spekulan karena dampak yang ditimbulkan dan bahayanya sudah jelas seperti yang terjadi di lepas pantai Belitung dan Bangka. "Banyak nelayan kehilangan mata pencaharian dan pencemaran. Dapat dibayangkan jika tambang skala besar?" katanya.

Chalid menerangkan, pengerukan skala besar akan menimbulkan gangguan ekosistem laut. Sebab, mineral yang terkandung akan ikut arus laut. "Di darat sudah hancur-hancuran karena eksploitasi tambang, sekarang mereka ingin pindah ke laut, yang jelas-jelas di negara lain dilarang," kata dia.

Ia pun mewanti-wanti jika revisi UU Minerba lolos di DPR, dan penambangan di laut diperbolehkan, maka akan terjadi perusakan yang masif di laut. Padahal, membuang limbah tambang ke laut saja adalah larangan, apalagi melakukan penambangan di laut. "Kalau itu lolos, akan ada konsentrasi pengrusakan di laut. Bayangkan bagaimana rusaknya laut jika dieksploitasi," kata dia.

Di sisi lain, Chalid juga melihat bahaya lain jika klausul pertambangan bawah laut dibolehkan. Klausul ini, kata dia, akan jadi pintu masuk memperbolehkan penambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi yang selama ini dilarang dalam UU Kehutanan. "Saya menduga revisi ini akan jadi lex specialis dimana membolehkan menambang di hutan lindung dan konservasi," ujarnya. (Gresnews.com/Dimas Nurzaman)

BACA JUGA: