JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional 2016. Dalam waktu tak terlalu lama, beleid ini akan segera dibahas dan disahkan sebelum tahun ini berakhir.

Sayangnya, percepatan pembahasan revisi UU Minerba ini justru dinilai sebagai sebuah tindakan gegabah. Alasannya, dalam draf akademik yang beredar diketahui banyak pasal dalam draf revisi UU Minerba justru merugikan Indonesia sebagai pemilik Sumber Daya Alam (SDA).

"Draf ini cenderung mementingkan kepentingan investor," kata Peneliti Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Budi Afandi kepada gresnews.com, Kamis (24/3).

Revisi ini sudah menjadi inisiatif pemerintah sejak tahun 2015. Ternyata proses berjalan sampai awal 2016 dan DPR belum memiliki draf tandingan hingga sekarang. Diduga ini merupakan karakter DPR untuk menjadikan draf inisiasi bersama lantaran malas melahirkan draf baru.

Budi mengatakan, salah satu kerugian yang potensial dialami Indonesia dalam draf revisi UU Minerba adalah persoalan izin yang tak diatur dengan jelas. Padahal ada sekitar 5.000 izin pertambangan yang bermasalah dan baru sekitar 1.500 yang mendapat respons.

"Juga masalah kriminalisasi terhadap warga yang lahannya digusur guna bisnis minerba pun tak diakomodir," kata Budi.

Kemudian, ada juga ketentuan yang membolehkan izin pertambangan diberikan untuk tambang di bawah laut sebagai bentuk baru penambangan. Hal itu tercantum dalam Bab IX Pasal 66 Ayat (2).

Menurut Budi, aturan ini sangat tidak tepat sasaran sebab tidak berangkat dari masalah yang terjadi. "Ini malah membuka masalah baru bagi sosial dan lingkungan," tegasnya.

Budi menilai naskah akademik ini tidak konsisten dengan pengaturan RUU-nya sebab tak ada alasan mendetail mengapa diperbolehkan izin tambang bawah air. Pada saat draf ajuan, terdapat kalimat "eksplorasi bawah air" dan hal ini berarti membolehkan penambangan selain di laut, misalnya danau dan sungai.

"Namun istilah ini berubah menjadi ´eksplorasi bawah laut´ di RUU-nya sehingga tak jelas asumsi dasarnya," kata Budi.

Potensi kekayaan bawah laut ini pun dapat dilakukan di tambang bawah laut/lepas pantai sejauh 0-12 mil dari bibir laut. Kewenangan perizinannya pun hanya melewati menteri saja. Naskah ini akhirnya dianggap bertentangan dengan pengaturan UU yang lain, seperti UU Perlindungan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pertentangan ini, menurut Budi, menggambarkan adanya kekacauan struktur. "Poin selanjutnya, divestasi ketika negosiasi tak berlangsung baik maka dapat dilempar ke bursa saham sehingga membuka keran privatisasi," ujarnya.

Budi khawatir jika revisi ini kemudian disahkan maka akan dijadikan dasar bagi perusahaan pertambangan untuk bermain saham. Dalam hal divestasi misalnya, perusahaan yang membeli saham yang didivestasi bisa saja perusahaan yang justru punya afiliasi dengan perusahaan yang punya kewajiban divestasi.

Kemudian, ada juga persoalan smelter yang justru akan mengulur lagi waktu kewajiban pembangunan smelter bagi pemegang kontrak pertambangan. Budi melihat kemungkinan itu pada draf Pasal 129 yang mengulang UU sebelumnya yang menyebut kewajiban pemegang kontrak pertambangan membangun smelter dalam lima tahun ke depan.

"Artinya jika RUU ini disahkan maka kewajiban pembangunan smelter seharusnya akan kembali molor pada tahun 2021. Indonesia akan kembali merugi dan rakyat dikesampingkan," katanya.

KEPENTINGAN KORPORASI - Senada dengan Budi, Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertati mengatakan, revisi UU Minerba rentan nuansa mempertahankan kepentingan korporasi daripada kepentingan nasional dan kedaulatan energi nasional. "Kalau dilihat revisi ini bukan jalan keluar satu-satunya, tapi pemerintah harus memperkuat sistem mekanisme sanksi ketika perusahaan tak menjalankan kewajibannya," kata Rachmi kepada gresnews.com.

IGJ, kata Rachmi, melihat Indonesia banyak digugat perusahaan tambang terkait izin tambang dan ekspor konsentrat. Dalam revisi ini tetap tak ada kewajiban bagi perusahaan tambang agar patuh terhadap hukum Indonesia.

Ini seolah menunjukkan pemerintah mendapat tekanan kepentingan korporasi. Negara akan rentan digugat dan tak akan efektif apabila pemerintah tidak melakukan penghentian terhadap perjanjian investasi.

"Sebenarnya kami berharap pemerintah konsisten melakukan yang telah dilakukan sebelumnya," kata Rachmi.

Pemerintah seharusnya melanjutkan draf naskah Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) yang dibuat Kementerian Luar Negeri dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Draf ini cukup baik dalam merespons investasi di dalam negeri. "Sayangnya pengajuan draf ini malah mandek pada Agustus 2014, padahal tinggal final penyelarasan bahasa di Kemenlu," ujarnya.

Draf P4M ini, kata Rachmi, merupakan cara pemerintah untuk menghindarkan Indonesia digugat dalam investasi apapun. Sebab definisi investasi paling sering dijadikan dasar investor menggugat negara, karena di sana terdapat banyak makna investasi, baik yang berbentuk maupun tak berbentuk.

Seperti diketahui, 60 persen kasus yang digugat investor itu terkait pertambangan dan energi. "Jadi naskah ini membuat pembatasan jenis investasi itu yang didaftarkan BKPM saja," katanya.

Lalu membicarakan pembatasan non discrimination proportional, dimana yang menarik ada tiga hal yang tak boleh digugat yaitu terkait sumber daya alam, keamanan negara dan ekonomi negara. Ini cukup penting jika diimplementasikan dan bisa melindungi kepentingan nasional.

Kemudian, sengketa investasi apapun bentuknya tidak boleh dibawa ke lembaga arbitrase internasional langsung tapi harus melewati pengadilan domestik dulu. "Tapi sayangnya tetap tak berjalan, ini menandakan pemerintah kurang konsisten melindungi kepentingan nasional," tutupnya. (Gresnews.com/Dimas Nurzaman)

BACA JUGA: