JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejak negeri ini merdeka, 70 tahun lalu, bahan tambang serta minyak dan gas bumi (migas) menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara. Puncaknya antara tahun 1970-an hingga 80-an hampir sebagian besar pendapatan negara berasal dari royalti perusahaan mineral dan batu bara (minerba).

Kini era kejayaan tambang saat telah berakhir, sumbangan pendapatan negara dari sektor ini kian tahun makin turun. Pemicunya turunnya harga minyak dunia akibat perang produksi antara minyak bumi konvensial versus minyak shale oil. Saudi dan negara-negara Timur Tengah membanjiri dunia dengan pasokan minyak untuk menjegal minyak shale oil yang diproduksi Amerika.

"Lima tahun terakhir peranan PNBP migas dan non migas dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan," ujar Anwar Syadat, Kepala Sub Direktorat Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam, Kementerian Keuangan, Senin (7/9).

Tahun ini saja, dari royalti sektor pertambangan hanya 6,75%. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas dan non migas pun turun selama 5 tahun terakhir. Alhasil, dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer ke daerah produsen tambang pun menurun.

Pada 2012, sumbangan royalti pertambangan terhadap ABPN sebesar 16,8%, kemudian 2013 turun menjadi 15,73%, pada 2014 kembali menurun 15,53% dan merosot signifikan lada 2015 menjadi hanya 6,75%. Penyebabnya, produksi turun dan harga minyak terus merosot turun.

Alhasil, anggaran dana bagi hasil (DBH) yang akan disalurkan ke daerah produsen tambang pun menurun tahun 2015. DBH sektor pertambangan tahun 2012 sebesar Rp 62,6 triliun, lalu 2013 turun menjadi Rp 42,5 triliun. Sempat naik pada 2014 menjadi Rp 65,4 triliun dan 2015 anggarannya kembali turun 55,8 triliun.

DBH Turun 16% dari 2014, sebab royalti sektor pertambangan pada APBN 2015 terpangkas hingga 56,5% dari tahun sebelumnya. Beberapa daerah dengan realisasi penerimaan DBH 2014 paling besar yaitu Kaltim sebesar Rp 3,2 triliun. Papua Barat mencapai Rp 2,43 triliun, Kepri Rp 1,6 triliun dan Riau Rp 1,4 triliun.

DBH ini oleh Papua Barat dan Aceh dengan otonomi khusus diberikan dengan porsi 70%. Sebesar 30% dari DBH tersebut oleh mereka dipakai untuk dana pendidikan. Dana hasil tambang, harus dibagikan ke daerah karena ada efek samping dari kegiatan pertambangan punya negatif eksternaliti. Selain itu, sebelum diatur DBH, muncul penilaian bahwa daerah kaya SDA tambang justru masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan.

Tambang, menurut Anwar, kalaupun bisa diperbaharui, masa pemulihannya lama. "Jumlah yang dieksploitasi lebih besar dari masa pemulihannya. Kemudian dengan adanya ketentuan ini, memperjelas originnya atau asalnya. Kepada siapa harus membagi," tambahnya.

TERBUAI HARGA TINGGI - Indonesia beberapa tahun lalu menikmati tingginya harga-harga komoditas, mulai dari minyak, gas, batu bara, sawit, karet dan lainnya. Namun, saat ini semua harga komoditas rontok sehingga jangan sampai mengulang kembali kesalahan yang sama telalu mengandalkan ekspor sumber daya alam.

"Saya sampaikan kondisi ekonomi secara umum ada siklus. Seperti siklus perusahaan, bisa di atas bisa di bawah, dan itu tidak bisa dipungkiri, itu business circle," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brojonegoro, Senin (7/9).

Bambang mengatakan, di saat harga komoditas dunia meningkat tinggi, pemerintah termasuk pengusaha terlena mendapat pendapatan yang meningkat tajam. Namun sebenarnya itu adalah bom waktu, karena suatu saat harga komoditas tersebut akan jatuh, seperti saat ini.

"Kita suka lalai, padahal ada kesempatan kita di bawah. Ini yang juga terjadi sebelum-sebelumnya. Setelah harga jatuh, baru kita sadar kita telat antisipasi. Begitu kondisi baik, saat harga masih bagus, masyarakat nggak berpikir jangka panjang," tambahnya.

Bambang mencontohkan, ketika beberapa tahun lalu harga komoditas batu bara meningkat tinggi, semua pengusaha investasi di pertambangan dan benar saat itu banyak sekali pengusaha yang meraup keuntungan besar dari tingginya harga batu bara.

Batu bara saat itu Internal Rate Of Return (IRR) mencapai 20%, semua pengusaha masukan uangnya ke batu bara. Padahal ada sektor lain, manufaktur yang IRR-nya 10%. "Memang batubara IRR saat itu tinggi, tapi nggak siap ketika harga turun, baru teriak-teriak ini krisis. Kalau kita fundamental bagus tidak perlu khawatir," ujarnya.

Hal yang sama juga terjadi pada minyak bumi. Sebelum 2014 harga minyak saat itu di atas US$ 150 per barel, tapi tak lama kemudian anjlok, bahkan saat ini tiba-tiba jadi US$ 40 per barel. Ia menyarankan, agar pengusaha lebih tertarik investasi di sektor infrastruktur, memang IRR atau pengembalian investasi yang didapatkan tidak terlalu besar, namun dengan terbangunnya infrastruktur, fundamental ekonomi Indonesia semakin baik.

"Artinya jangan lagi gampang terbuai apapun yang sifatnya situasional atau jangka pendek. Kalau terbawa terus bahwa fundamental kita lemah, maka jadi jelek beneran. Karena kita tak pernah orientasi jangka panjang," ungkapnya.

SEJARAH TERULANG - Bambang menjelaskan sejarah perekonomian Indonesia selama 70 tahun, banyak pelajaran yang bisa didapat. Ia mencontohkan kejatuhan harga minyak dunia sudah pernah terjadi pada era 1980-an.

Saat itu, harga minyak jatuh hingga di bawah level US$ 10 per barel. Indonesia yang saat itu mengandalkan ekspor minyak bumi sebagai sumber utama pendapatan negara cukup terpukul. Sedangkan saat ini harga minyak sudah turun dari beberapa tahun lalu yang mencapai US$ 100/barel menjadi US$ 40/barel.

"Waktu itu APBN kita tergantung pada PNBP migas, sampai kondisi memaksa kita melakukan perubahan," tutur Bambang , Senin (31/8).

Setelah jatuhnya harga minyak dunia itu, Indonesia melakukan perubahan struktural dalam perekonomian. Negara tak lagi mengandalkan pemasukan dari minyak bumi, sektor pajak dan sektor riil dibenahi. Pajak dan industri manufaktur menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.

"Sektor riil mulai dikembangkan karena harga minyak fluktuatif, maka harus didorong manufaktur," ujarnya.

Dengan adanya perubahan tersebut, perekonomian Indonesia bertumpu pada industri manufaktur yang padat karya pada era 1990-an sampai krisis menghantam pada 1998, industri padat karya pun terpukul.  Manufaktur menjadi tulang punggung ekonomi sampai 1998 pun hancur terhempas krisis ekonomi.

MASA DEPAN BISNIS PENGOLAHAN - Bila pada 1970-1980 bisnis primadona yang mendorong ekonomi Indonesia adalah minyak dan gas, kemudian di 1985-1997 berubah menjadi manufaktur, dan 1997 manufaktur hilang karena krisis moneter. Sementara setelah sempat pulih pada 2004-2005 bisnis komoditas kembali menjadi komoditas. Kini setelah harga komoditas bertumbangan bisnis pengolahan dan infrastruktur nampaknya semakin menjanjikan.

Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, sektor infrastruktur akan menjadi bisnis primadona baru ke depan di Indonesia. Misalnya bisnis infrastruktur seperti pembangkit listrik atau bandara udara dan pelabuhan. Pelabuhan juga karena jumlahnya di Indonesia kurang.

"Belum lagi jalan tol yang masih kurang. Jadi infrastruktur bisa jadi bisnis luar biasa. Akan ada BUMN mencorong karena infrastruktur, seperti Angkasa Pura, Pelindo, Jasa Marga, atau PLN," ujarnya.

Kedua adalah industri manufaktur berbasis sumber daya alam, baik itu mengolah hasil pertanian atau pertambangan. "Seperti turunan minyak sawit (CPO) yang saat ini kita bersaing dengan Malaysia untuk hilirisasi," imbuh Bambang.

Kemudian pengolahan tambang bauksit, pasir besi, hingga nikel yang masih belum berkembang di Indonesia. "Industri otomotif juga bisa, produksi sudah besar, ongkos produksi kecil dan sudah ekspor," kata Bambang.

Selama ini pemerintah telah mewajibkan para pengusaha tambang untuk membangun smelter alias pengolahan bahan mentah. Sepertinya arah kebijakan pemerintah sudah depan dengan mendorong perkembangan bisnis smelter dan infratruktur. Semoga saja Indonesia tak seperti kerbau yang terjerembab kedalam lubang yang sama hingga dua kali. (dtc)

BACA JUGA: